Menjinakkan Nuklir Korut. KJ, 9-4-2016

“Menjinakkan” Nuklir Korea Utara

Ahmad Syaifuddin Zuhri

Layaknya sebuah rutinitas, kembali, Korea Utara menaikkan tensi ketegangan di Semenanjung Korea. Setelah beberapa kali dalam beberapa tahun terakhir, Korut lagi-lagi melakukan uji coba nuklir dan mengancam akan menyerang Korea Selatan dan AS. Terakhir, Januari lalu, Korut mengklaim sukses meluncurkan bom hidrogen yang mengakibatkan guncangan seismik hingga 5,1 skala Richter. Tindakan Korut ini disusul oleh uji coba roket jarak jauh, yang diklaim Korut sebagai satelit pemantau bumi.

Meskipun banyak pakar meragukan kemampuan nuklir Korut, negara ini telah membuat kemajuan dalam program rudal balistik antarbenua. Teknologi rudal Korut diduga dapat mencapai Pantai Barat AS, meskipun pakar ragu rudal itu bisa mencapai Pantai Timur AS.

“Guncangan” uji coba nuklir Korut tidak berhenti disitu, pada bulan lalu (15/3), kantor berita Korut, KCNA mengeluarkan rilis bahwa negaranya akan segera melakukan uji coba hulu ledak nuklir dan meluncurkan rudal balistik yang mampu membawa hulu ledak nuklir.

Negara tersebut tidak peduli dengan sanksi yang sudah diberikan oleh AS maupun PBB. Ibarat pepatah, anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Keras kepala dan tak kenal gentar. Lalu, apa motivasi Korut tersebut dan bagaimana negara-negara besar selain AS dalam menghadapi kebandelan Korut tersebut? khususnya Tiongkok dan Rusia. Dua negara besar yang secara geografis, geopolitik sangat berkepentingan dengan Korut.

Perilaku Eksibionisme Korut akan kemampuan teknologi militernya memang sudah turun temurun sejak negara itu dilanda kekalahan perang dengan Korea Selatan. Korut ingin meneguhkan dirinya bahwa dia mampu melawan negara yang dianggap musuhnya terutama dengan AS dan sekutunya dengan mengembangkan senjata nuklir. Karena baginya, nuklir adalah satu-satunya alat tawar atau bargaining position untuk menaikkan posisinya. Korut sudah empat kali melakukan uji coba nuklirnya mulai 2006, 2009, 2013 dan sekarang.

Memang, sikap AS terhadap Korut tidak se”garang” jika dibandingkan, misalnya, dengan sikap AS ke Afganistan atau Irak. Amerika Serikat hanya mengganjar sanksi-sanksi tertentu dengan mengajak sekutunya dan DK PBB. Sanksi ini diharapkan semakin membuat negara itu terkucil di kancah global Sanksi ini dijatuhkan kepada Korut melalui perintah eksekutif dari Presiden Barack Obama, Rabu (16/3).

Sanksi berupa pembekuan semua properti pemerintah Korut di AS dan pelarangan ekspor barang-barang dari AS ke Korut. Karena di belakang Korut memang terdapat dua negara raksasa terutama Tiongkok. Yang dihindari oleh AS secara langsung jika terjadi konflik.

Kengototan Korut memang tidak terlepas dari sokongan Tiongkok. Walau akhir-akhir ini di dalam negeri Tiongkok sendiri banyak pro-kontra akan dukungan terhadap sikap Korut. Andrew Scobell dalam buku China and North Korea: From Comrades-in-Arms to Allies at Arm’s Length, menulis tentang dasar-dasar kerjasama Beijing-Pyongyang yang punya sejarah kerjasama militer yang sudah berusia lebih dari setengah abad.

Dari sisi geopolitis, Semenanjung Korea berbatasan sekitar 850 mil dari Tiongkok. Sehingga Korut menjadi sebuah negara pembatas atau buffer state yang sangat  penting bagi Tiongkok. Korut adalah pembatas terakhir Tiongkok dengan Korsel, dimana tempat sekitar 29.000 personil militer AS berada.

Dalam catatan sejarah awal abad 20, Kekaisaran Jepang masuk ke Tiongkok untuk menginvasi melalui Semenanjung Korea. Korea pula yang jadi gerbang masuk pasukan Jenderal Douglas MacArthur saat Amerika memutuskan melakukan intervensi dalam Perang Korea pada 1950-an dan membantu Korea Selatan.

Korea Utara waktu itu berada di ambang kekalahan. Tapi posisinya yang sangat penting membuat Mao Zedong memutuskan untuk mengirimkan bantuan ratusan ribu pasukan sukarela. Perang Korea berakhir dengan penandatanganan gencatan senjata antara kedua Korea pada 1953. Begitu vitalnya letak geografis Korut bagi Tiongkok, Pada Juli 1961, Tiongkok-Korut melakukan penandatangan Traktat Persahabatan, Kerjasama, dan Bantuan Imbal-Balik (Treaty of Friendship, Cooperation and Mutual Assistance). Yang berisi antara lain saling memberikan bantuan militer apabila salah satu dari kedua negara diserang, menghormati dan tak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara, serta melakukan kerjasama bidang ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan.

Kedua negara itu juga mempunyai kesamaan secara ideologis yakni Sosialis Komunis. Ketika Uni Soviet runtuh akhir 1980-an, Beijing melihat Pyongyang sebagai satu-satunya “kawan ideologisnya” yang masih tersisa. Scobell mengatakan, bahwa hal ini terkait erat dengan legitimasi politis rezim komunis Tiongkok, makin banyak rezim komunis terguling berarti makin sulit pula bagi yang masih ada untuk mengukuhkan legitimasinya. Walaupun saat ini kesamaan ideologis itu sudah tidak menjadi hal utama lagi, terutama pasca era perang dingin usai.

Secara ekonomi, hingga saat ini, Korut masih sangat bergantung sepenuhnya pada Tiongkok. 90 persen kebutuhan energi, 80 persen kebutuhan barang konsumsi, dan 45 persen kebutuhan makanan Korut seluruhnya berasal dari perdagangannya dengan Tiongkok (Jayshree Bajoria, The China-North Korea Relationship). Meskipun dalam empat tahun terakhir relasi kedua negara cenderung mendingin, Beijing tetap berupaya mendukung Pyongyang.

Sikap Tiongkok sendiri sangat ditunggu dunia untuk menjinakkan Korut. Pada pertemuan level pejabat tinggi antara Menlu Tiongkok, Wang Yi dan Menlu Rusia, Sergei Lavrov di Moscow pada Jumat pekan lalu, menyepakati bahwa Tiongkok dan Rusia menginginkan Korut untuk kembali melakukan dialog terkait pengembangan nuklirnya. Dua negara tersebut sangat berkepentingan dalam menjaga stabilitas di kawasan terutama aktifitas militer.

Rusia dan Tiongkok juga berbeda pendapat dengan sikap AS yang akan membangun sistem pertahanan misil di Korea Selatan untuk melawan Pyongyang. Sistem yang disebut dengan Terminal High Altitude Area Defense (THAAD). Sistem pertahanan udara canggih itu memiliki radar yang mampu melacak sejumlah rudal balistik hingga 2.000 kilometer. Jika ditempatkan di Korsel, jarak jangkauan operasinya mampu mencapai wilayah Tiongkok.

Jia Qinggou, Profesor Ilmu Politik di Universitas Beijing, mengatakan bahwa strategi pendekatan Tiongkok ke Korut harus dirubah. Tiongkok sebaiknya melihat kasus Korea Utara sebagai alasan untuk memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat. Jia Qinggou adalah penganut strategi baru, yang ingin sikap lebih tegas terhadap Korea Utara. Zhang Liangui dari Sekolah Tinggi Partai Komunis atau Gong Dang Xueyuan di Beijing juga menuntut hal yang sama. Dalam harian Tiongkok ”Global Times” ia menerangkan, terlalu naif untuk percaya bahwa Korea Utara bisa dibujuk untuk meninggalkan program nuklirnya.

Terlepas dari sikap AS dan sekutunya yang berbeda pendapat dengan Rusia dan Tiongkok dalam pendekatan menyikapi Korut. Diplomasi internasional untuk meredam ambisi Korut harus terus dilakukan secara terus menerus dan jangka panjang. Kita tidak ingin kawasan Asia Timur menjadi medan perang pertunjukkan kekuatan seperti di Timur Tengah. Walau kecil kemungkinan itu akan terjadi.

Naiknya kembali tensi di Semenanjung Korea sangat mendesak untuk segera ditangani dengan pendekatan yang terbaik. Menghindari kerugian dari semua pihak, terutama korban sipil karena perdamaian dan stabilitas dunia adalah tujuan utama bagi terciptanya dunia yang harmonis. Seperti apa yang diajarkan dalam kesamaan akar budaya Asia Timur, Konfusionisme, bahwa keharmonisan dan kasih sayang adalah segalanya.

*Dosen FISIP HI UIN Jakarta, Alumni S2 Nanchang University, Nanchang, Tiongkok.

http://www.koran-jakarta.com/menjinakkan-nuklir-korut/

 

Pelajaran Mudik dari Tiongkok, Tribun Jateng

 

Pelajaran dari Mudik Tiongkok

Oleh: Ahmad Syaifuddin Zuhri

Koran Tribun Jawa Tengah, 12 Februari 2016

Imlek yang jatuh pada 8 Februari ini adalah momentum perayaan tahun baru khas Tiongkok yang populer diseluruh dunia. Bahkan bisadi katakan menempati posisi kedua setelah perayaan tahun baru masehi.

Imlek sendiri berasal dari bahasa Hokkian, Im: Bulan dan Lek: kalender, atau dalam bahasa Mandarin:Yinli. Di Tiongkok sendiri lebih populer disebut denganChun Jie (baca: chuncie) atau festival musim semi.

Penanggalan Imlek sendiri menganut perhitungan sistem lunar atau bulan yang dipadukan dengan penanggalan masa tanam atau dikenal denganNong Li, hampir sama dengan penanggalan dalam Hijriah.

Dalam sejarahnya, konon Imlek merupakan sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di Tiongkok yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Perayaan ini juga erat dengan pesta menyambut musim semi.

Perayaan Imlek dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 di bulan pertama atau lebih dikenal denganYuanxiao Jie (Lantern Festival), yang di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Cap Go Meh.

Imlek di Tiongkok menjadi sangat menarik dan mempunyai tradisi yang hampir sama dengan tradisi di Indonesia di kala Lebaran. Yakni tradisi mudik ke kampung untuk bertemu dengan leluhur, keluarga, tetangga, dan lain-lain.

Di Tiongkok, Imlek menjadi liburan yang sangat ditunggu oleh seluruh lapisan masyarakat. Secara resmi, pemerintah Tiongkok mengeluarkan kebijakan libur nasional selama sepekan penuh. Perpaduan liburan dan merayakan tradisi itulah yang menyebabkan terjadinya migrasi besar-besaran -yang konon terbesar di dunia- masyarakat Tiongkok

Tradisi-tradisi yang selalu menjadi penghias ketika Imlek tiba di antaranya: berkumpul dengan keluarga, memberi hongbao (angpao), berkunjung ke tetangga, baju baru, makan bersama dan memberi parsel, membersihkan rumah, berziarah, dan membersihkan makam leluhur, dan lain sebagainya.

Fenomena Chunyun

Mudik dalam Imlek atau dikenal dengan Chunyun adalah fenomena tahunan yang menjadi agenda sangat penting dalam transportasi di Tiongkok.

Pada mudik Imlek tahun 2015 lalu saja, dalam rilis resmi oleh Kementerian Perhubungan Tiongkok.Total 2.81 miliar penumpang selama 40 hari liburan musim Imlek. Naik 3,5 persen dari periode tahun 2014. Yang terdiri dari 2,42 miliar pemudik melalui jalan raya, 295 juta melalui kereta api, 42,84 juta melalui jalur air dan 49,14 juta pemudik melalui udara. Maka, tak heran tradisi mudik Imlek di Tiongkok disebut sebagai migrasi terbesar manusia di dunia.

Selain dengan moda transportasi massal, mudik di Tiongkok juga diramaikan dengan berkendaraan roda dua. Biasanya karena daerah yang dituju tidak dilalui oleh kereta api atau bus. Tetapi,pemudik dengan motor roda dua ini relatif sedikit. Tahun ini diperkirakan hanya 40.000 motor, yang kebanyakan di daerah Tiongkok selatan dengan topografi daerah bergunung.

Menghadapi besarnya angka mudik tersebut, pemerintah Tiongkok dengan sangat serius membangun jaringan ribuan kilometer jalan tol dan rel kereta api. Dua tulang punggung infrastruktur transportasi di Tiongkok. Khususnya moda kereta api. Pemerintah membangun banyak jaringan rel baru dan kereta super cepat dengan daya dukung stasiun yang mampu menampung ratusan ribu orang tiap harinya. Mega-stasiun di Tiongkok bisa ditemukan di banyak kota-kota besar. Fasilitas, kenyamanan dan keamanannya setara dengan bandara internasional.

Tidak ada pembangunan yang terkesan tambal sulam layaknya menjelang musim mudik di Indonesia terutama di jalur Pantura. Semua perencanaan dan pembangunan infrastruktur mereka siapkan dengan sangat matang, terintegrasi, nyaman dan aman. Sehingga, ketika Imlek tiba sangat siap dilalui.

Menariknya lagi, tidak ada kenaikan harga tiket ataupun kemacetan super parah seperti kita lihat di Indonesia ketika musim mudik Lebaran tiba. Harga tiket pesawat atau kereta api tidak terjadi lonjakan alias normal.

Bahkan harga tiket pesawat banyak promosi dan bisa hampir setengah di bawah harga normal. PemerintahTiongkok benar-benar memfasilitasi warga yang akan mudik Imlek secara maksimal. Mereka sangat menyadari bahwa pelayanan prima adalah hal mutlak yang tidak bisa ditawar.

Tingginya tingkat urbanisas idengan pertumbuhan massif kota-kota mega politan menjadi fenomena yang benar-benar menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Walaupun pemerintah sudah berusaha menyeimbangkan pembangunan antara Tiongkok bagian timur dan barat.Tetapi, arus urbanisasi tetap tinggi di daerah timur seperti di Beijing, Shanghai, Guangzhou, Hangzhou, Shenzhen, dan lainnya.

Libur Imlek tidak hanya dinikmati dengan berlibur selama tujuh hari ketika masyarakat Tiongkok mudik bertemu keluarga di rumah. Akan tetapi juga menjadi waktu mereka untuk menghabiskan liburan hingga keluar negeri. Fenomena liburan keluar negeri bagi masyarakat Tiongkok saat ini menjadi fenomena yang biasa. Apalagi, semenjak meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat Tiongkok akhir-akhir ini.

Menjadi Contoh

Ctrips Internasional, agensi perjalanan wisata terbesar di Tiongkok, memperkirakan bahwa liburan Imlek tahun ini akan ada 6 juta perjalanan wisatawan ke luar negeri. Peningkatan wisatawan itu juga berdampak dengan peningkatan biaya rata-rata belanja perwisatawan yang diperkirakan sampai 10 ribu Yuan (USD 1,520), belum termasuk biaya belanja di lokasi wisata.

Tak heran, negara dengan penduduk nomor satu dunia dengan populasi sekitar 1,3 miliar tersebut, layak menjadi banyak contoh dan pelajaran. BagaimanaTiongkok yang 20 atau 30 tahun lalu dikategorikan negara miskin, tingkat korupsi tinggi dan semrawut, saat ini begitu pesat kemajuannya di segala bidang. Perpaduan antara pembangunan yang berpegang teguh dengan tradisi. Tanpa menghilangkan jejak-jejak kultural yang ribuan tahun turun-temurun hingga kini. Gongxi Fa Cai, Wanshi Ru Yi

Direktur Eksekutif Pusat Pengembangan Budaya Islam-China MAJT Semarang

Alumnus S2 HI Nanchang University, China

http://jateng.tribunnews.com/2016/02/12/pelajaran-dari-mudiktiongkok

OLEH: AHMAD SYAIFUDDIN ZUHRI*
Kaltim Post, 21 Juli 2015
kaltim post

DI Kota Nanchang, ibu kota Provinsi Jiangxi, tempat tinggal penulis, 1 Syawal jatuh pada Jumat. Uniknya, salat Id justru digelar esoknya, alias Sabtu. Di Provinsi Otonomi Khusus Xinjiang yang bersebelahan dengan Provinsi Qinghai itu juga beda dalam menetapkan jatuhnya Idulfitri. Mayoritas muslim di Tiongkok bermukim di dua provinsi. Di Qinghai, Lebaran pada Jumat, sedangkan di Xinjiang Sabtu.
Salat Idulfitri di Nanchang diikuti 3 ribuan jamaah. Mereka memadati hingga halaman satu-satunya masjid di kota ini. Yakni,  Masjid Besar Honggutan atau Honggutan Qingzhen Si di Distrik Honggutan. Jamaah mulai berdatangan sejak pukul 07.00 pagi. Salat dimulai pukul 08.00 dilanjutkan dengan khotbah menggunakan bahasa Arab. Rangkaian salat berakhir sekitar pukul 09.00.
Animo jamaah untuk ikut salat Id tahun ini terlihat lebih besar dibanding tahun lalu. Selain karena bertepatan dengan akhir pekan, juga pas liburan musim panas. Cuaca pun sangat mendukung. Sejuk, karena sehari sebelumnya Nanchang diguyur hujan seharian. Pada musim panas, suhu rata-rata di Nanchang mencapai 37 derajat celsius dengan tiupan angin yang juga hangat saat siang maupun malam.
Selepas salat,  jamaah diberi kudapan dan air botol mineral oleh pihak masjid di pintu gerbang utama. Masih di pelataran masjid, jamaah juga saling bersalaman. Ada pula yang langsung memadati bazar yang menjual makanan halal dan aneka barang di depan masjid. Saking banyaknya jamaah,  pengelola masjid dibantu puluhan anggota kepolisian setempat menjaga keamanan dan menutup jalan raya di depan masjid. Pengelola masjid juga mengajak jamaah setempat berziarah di pemakaman khusus muslim di pinggiran Nanchang.
Selepas salat Id, sepulang dari masjid dan setelah saling maaf-maafan, kami merayakannya di asrama dengan makan bersama menu Indonesia. Di antaranya, opor ayam dan sate ayam. Lebaran di tanah rantau memang tak seindah merayakannya bersama keluarga di kampung halaman. Tapi, merasakan dan mendapatkan pengalaman langsung di negeri minoritas muslim menjadi bagian dari sebuah nikmat yang sungguh luar biasa dari-Nya untuk selalu disyukuri.
Bagaimana dengan kehidupan beragama di negeri komunis ini? Menjalani kehidupan beragama di sini cukup kondusif, baik di kampus maupun di luar kampus. Di tengah masyarakat yang bukan muslim, mereka tetap saling menghormati. Bahkan, Masjid Besar Honggutan yang berdiri dengan dua lantai di atas tanah sekitar 1 hektare yang diresmikan akhir 2012 itu, banyak mendapat bantuan Pemerintah Provinsi Jiangxi dan Pemerintah Kota Nanchang melalui Kantor Urusan Agama dan Suku Minoritas di dua level tersebut.
Satu-satunya Imam Masjid Besar Honggutan, Imam Musa, menuturkan 3 ribuan umat muslim di Nanchang, mayoritas pendatang. Mereka dari kantong-kantong provinsi yang memang banyak muslim di Barat Laut Tiongkok. Di antaranya, Qinghai, Gansu, Ningxia yang mayoritas suku Hui dan suku Uighur dari Xinjiang. Mayoritas mereka berwiraswasta dengan membuka restoran-restoran halal yang tersebar di Nanchang.
Selama hampir empat tahun tinggal di Tiongkok, penulis juga melihat semakin banyak restoran muslim berdiri di sudut–sudut jalan Nanchang. Tak heran, sekarang semakin mudah menemukan tempat makan halal dengan menu yang terkenal dan khas, yakni mi Lanzhou Lamian, makanan khas mi tarik dari Lanzhou, Provinsi Gansu.
Muslim di Tiongkok mayoritas adalah penganut mazhab Hanafi. Dalam amaliahnya tidak jauh berbeda dengan di Indonesia yang banyak bermazhab Syafii. Seperti Tarawih 20 rakaat, zikir dan doa bersama sehabis salat jamaah, kunut saat salat Subuh, azan dua kali pada salat Jumat dan sebagainya.
Ada 20-an juta umat muslim di Tiongkok. Mereka dari 10 etnis. Mayoritas dan terbesar adalah suku Hui, Uighur di Xinjiang disusul suku lainnya. Tantangan mereka sangat besar di tengah budaya masyarakat Tiongkok seperti minum-minuman beralkohol, makan babi dan makan nonhalal lain. Tetapi, semangat mereka dalam menjalankan agama sungguh luar biasa.
Idulfitri ini menjadi tahun ketiga secara berturut saya jalani di Tiongkok. Saya tinggal di Nanchang sejak akhir 2011 untuk belajar bahasa Mandarin selama setahun dan melanjutkan studi S-2 jurusan Hubungan Internasional 2012–2015 di Nanchang University dengan beasiswa dari pemerintah Tiongkok.
Penulis sudah wisuda akhir Juni lalu bersama 17 mahasiswa Indonesia lainnya di kampus yang sama. Sebagian dari kami, sambil menunggu pengurusan administrasi ijazah dan lainnya, merencanakan pulang di akhir bulan ini. (far/k8)
*) Penulis adalah alumnus Pascasarjana Jurusan Hubungan Internasional, Nanchang University, Nanchang, Tiongkok

Diplomasi KA Cepat Xi Jinping

Oleh: Ahmad Syaifuddin Zuhri*

Koran Jakarta, 27 April 2015

Di sela pertemuan KAA ke-60, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Pertemuan yang membahas sejumlah topik. Mulai dari tindak lanjut pertemuan di Beijing November dan Maret lalu sampai keterlibatan Tiongkok dalam proyek-proyek infrastruktur di Indonesia.

Jokowi ingin memastikan realisasi keterlibatan Negeri Tirai Bambu dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Meliputi pembangunan 24 pelabuhan, 15 pelabuhan udara, pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer, pembangunan jalan kereta sepanjang 8.700 km, dan pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW. Selain itu, Tiongkok juga akan terlibat dalam pembangunan kereta api (KA) cepat Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya.

Rencana pemerintah RI membangun proyek kereta api super cepat atau High Speed Railway (HSR) Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya menjadi incaran strategis dua raksasa negara Asia Timur: Tiongkok dan Jepang. Yang paling agresif saat ini adalah pemerintah Tiongkok.

Selama ini ketika kita menyebut Tiongkok dalam hal produk ekspor, adalah identik dengan barang-barang kecil yang murah seperti mainan, produk tekstil dan lain sebagainya. Akan tetapi, Tiongkok mulai punya brand baru dalam ekspor utama negara tersebut yakni kereta api super cepat (HSR). Saat ini Tiongkok menjadi kekuatan baru dalam teknologi kereta super cepat di dunia.

Kereta api cepat Tiongkok atau disebut dengan Gaotie (China Rail Highway) dengan kecepatan rata-rata 300 km per jam. Dimulai sejak 2008 dengan rute Beijing-Tianjin sepanjang sekitar 120 km dengan jarak tampuh sekitar 33 menit.

Hanya dalam waktu tujuh tahun (2008-2015), Tiongkok sudah membangun 16.000 km dan akan ditambah lagi 16.000 km sampai tahun 2020 dengan jalur rel yang sebagian besar jalur layang. Jalur tersebut melengkapi jalur kereta biasa sepanjang sekitar 120.000 km yang sudah melintasi negara tersebut. Dari 31 propinsi di negara tersebut, saat ini setidaknya sudah 28 kota sudah terkoneksi dengan jaringan kereta api cepat ini.

Saat ini tidak ada simbol yang lebih baik dalam aspek pembangunan Tiongkok selain kemampuan dalam pembangunan kereta super cepat. Padahal, selama lebih dari satu dekade sebelumnya, Tiongkok masih mengimpor teknologi dari luar negeri seperti Jepang, Perancis dan Jerman.

Dengan strategi introduction, digestion, absorption and innovation” industri perkeretaapian negara itu melesat cepat melalui dua perusahaan China North Railway Corp (CNRP) dan China South Railway (CSR). Dua perusahaan BUMN Tiongkok produsen kereta api yang melakukan merjer awal Maret lalu dan saat ini menguasai 10 persen pasar global.

Dengan kesuksesan di dalam negeri, Tiongkok sangat berambisi bisa melebarkan kemajuan teknologi HSR ke seluruh dunia dengan berkompetisi dengan pendahulunya seperti Kawasaki Jepang, Korsel, Siemens Jerman, Alstom Perancis dan Bombardier Kanada.

Walaupun sebagai pendatang baru, Tiongkok menjadi kompetitor baru yang mulai mengancam para produsen pendahulunya. Dikutip dari Firma konsultan transportasi Jerman, SCI Verkehr, mengatakan bahwa kelebihan Tiongkok diantara perusahaan lainnya adalah harga HSR yang kompetitif dan pengiriman yang cepat.

Saat ini terdapat lebih dari 20 negara yang mulai intens untuk memesan produk HSR dari Tiongkok seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Inggris, Rusia, AS, India, Brasil dan beberapa negara Afrika. Sementara yang sudah deal seperti jalur Ankara-Istanbul, Turki dan Haramain, Arab Saudi.

Ekspansi HSR Tiongkok juga sejalan dari proyek negara tersebut yang menginisiasi proyek Jalur Sutra Maritim dan Jalur Sutra Baru Abad 21 yang dikenalkan oleh Presiden Xi Jinping sejak 2013. Tahun ini mulai realisasi dengan menghubungkan Tiongkok dengan negara-negara Asia Tengah sampai Eropa.

Sedangkan di sisi selatan, dari Tiongkok ke wilayah ASEAN seperti Thailand, Malaysia dan Singapura yang pembangunannya dimulai tahun 2015 ini juga. Menurut Bea Cukai Tiongkok, tahun lalu negara itu sudah mengekspor peralatan kereta api sekitar 26.77 miliar yuan atau USD 4.36 juta meningkat lebih dari 22.6 persen dari tahun sebelumnya.

Oleh karena itu pemerintah Tiongkok menjadikan ekspansi HRS ke luar negeri menjadi salah satu poin utama dalam kebijakan luar negerinya saat ini dengan didukung oleh pembiayaan dan sumber daya dari negara tersebut.

Awal November 2014 lalu, sebuah konsorsium perusahaan Tiongkok yang dipimpin oleh CRCC memenangkan kontrak senilai US$ 3,7 miliar untuk membangun rel kereta cepat di Meksiko. Kontrak yang kemudian dibatalkan beberapa hari setelah ditemukan bukti adanya korupsi oleh pejabat Meksiko. Namun, kontrak yang batal itu masih merupakan pertanda adanya permintaan terhadap teknologi perkeretaapian Tiongkok.

Kereta api Tiongkok juga tak terbatas hanya untuk negara berkembang saja. Di tahun yang sama, otoritas kereta api Boston, Amerika Serikat, menandatangani kontrak dengan CNP Corporation asal Tiongkok untuk membuat 284 gerbong kereta bawah tanah.

Selain untuk menstimulasi permintaan manufaktur domestik terhadap produk baja lewat ekspor peralatan kereta api, pemimpin Tiongkok juga berharap bahwa kesepakatan kontrak proyek ini juga menguntungkan mereka dalam ranah soft power.

Dalam hukum ekonomi berlaku ketentuan mutlak, transportasi yang efektif menekan biaya, sedangkan transportasi buruk meningkatkan harga. Aksioma ini dipahami betul oleh Tiongkok. Tapi bagi kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia itu, transportasi bukan hanya soal ekonomi melainkan juga sebagai alat dalam pengaruh politik.

Dengan modal ekonomi, teknologi dan sumber daya yang kuat. Diplomasi HSR Tiongkok saat ini mulai menggeliat dan melaju cepat sebagai bagian dari soft power untuk pencitraan dan pengaruh negara tersebut di ranah global. Keberhasilan Tiongkok dalam kereta api berkecepatan tinggi memperkuat soft power-nya untuk membuktikan bahwa Tiongkok tidak hanya bisa mengekspor “Made in China” yang selama ini identik dengan barang murah seperti mainan atau sepatu.

Terkait pembiayaan, jika Jepang menawarkan skema pembiayaan 10 persen swasta, 74 persen  pembiayaan dari BUMN khusus yang dibentuk untuk proyek ini dan pemerintah berkontribusi 16 persen. Sementara Tiongkok, penawaran pembangunan kereta cepat oleh presidennya langsung, siap dengan pembiayaan penuh. “Pemerintah Tiongkok sudah sepakat akan membangun kereta api cepat Jakarta-Bandung, dan terbuka kemungkinan juga untuk Jakarta-Surabaya,” kata Xi Jinping

Tentu saja, tawaran Tiongkok bukan sebatas proyek amal dan kerjasama gratis. Tiongkok saat ini sangat membutuhkan pasokan energi untuk kebutuhan dalam negerinya yang semakin meningkat. Tiongkok menawarkan akan menanggung seluruh biaya proyek kereta api akan tetapi sebagai imbalan ia mendapat sumber daya alam atau energi yang tak dimiliki. Tongkok lebih tertarik investasi bila negara tujuan terlibat membayar dengan sumber daya alam yang mereka miliki ketimbang membantu investasi modal.

Dan Indonesia, jangan hanya menerima investasi Tiongkok tersebut taken of granted tapi bagaimana dengan meningkatkan posisi tawar, strategis dan cerdas bisa saling menguntungkan seperti transfer teknologi dan pendayagunaan SDM lokal serta paling penting, tidak mengabaikan kepentingan nasional bangsa.

*Mahasiswa Pascasarjana Program Hubungan Internasional, Nanchang University, Nanchang, Tiongkok

Tautan: http://www.koran-jakarta.com/?30558-diplomasi+ka+cepat+xi+jinping

Solopos, 18-4-2015.jpegKebangkitan Politik dan Ekonomi Asia-Afrika

Oleh: Ahmad Syaifuddin Zuhri

Harian Solopos dan Bisnis Indonesia (JIBI Networks), 18 April 2015

Pada tanggal 19-24 April 2015 ini, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan peringatan 60 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) dan Commemorative Summit Asia-Afrika ke-60. KAA 2015 ini mengangkat tema “Strenghtening South-South Cooperation to Promote  World Peace and Prosperity” .

Bertempat di Jakarta dan Bandung. Sebanyak 109 negara Asia dan Afrika, 16 negara pengamat dan 25 organisasi internasional diundang untuk berpartisipasi dalam acara ini.

Forum ini bertujuan untuk menjembatani negara-negara Asia dan Afrika dalam mengejar kemitraan yang lebih kuat dan sarana berbagi pengalaman dalam meningkatkan pembangunan ekonomi kedua kawasan. Juga menjadi kesempatan untuk membahas solusi dan cara mengatasi tantangan bersama melalui penguatan kerja sama Selatan-Selatan.

Tiga kegiatan utama, yaitu Senior Official Meeting, Ministerial Meeting, dan Leaders Meeting, akan dilaksanakan di Jakarta pada 19-23 April 2015. Sedangkan satu kegiatan utama, yaitu Bandung Historical Walk, dijadwalkan pada 24 April 2015 di Kota Bandung.

Peringatan KAA 2015 kali ini juga merupakan momentum 10 Tahun New Asian African Strategic Partnership (NAASP) yang digagas saat Peringatan 50 Tahun KAA pada tahun 2005. Dalam peringatan tahun ini, ada tiga dokumen penting yang akan dihasilkan, salah satunya Declaration of Reinvigarating the New Asian-African Strategic Partnership. Dua dokumen lainnya adalah Bandung Message dan Declaration on Palestine.

Selain itu, di sela-sela kegiatan utama di Jakarta, pada 21-22 April 2015, juga akan dilangsungkan Asia Africa Business Summit (AABS) 2015 yang bertujuan untuk semakin meningkatkan kerja sama ekonomi antara negara-negara di kawasan Asia dan Afrika. AABS 2015 akan fokus pada empat isu, yakni infrastruktur, perdagangan, agribisnis, dan kemaritiman. Pertemuan yang akan dihadiri sekitar 400 pengusaha dari Asia dan Afrika ini diarahkan untuk pembentukan Asia Africa Business Council (AABC), yang kemudian akan menjadi pertemuan bisnis rutin tahunan di antara negara-negara Asia-Afrika.

Dalam catatan sejarah, KAA 1955 atau juga dikenal dengan Konferensi Bandung 1955. Membawa dampak yang sangat signifikan bagi hubungan negara-negara Barat dan juga negara-negara baru merdeka di belahan bumi Selatan dalam tatanan hubungan internasional pada saat itu.

Peran Indonesia dibawah Presiden Soekarno waktu itu sangat besar, bersama Burma (Myanmar), India, Pakistan, dan Ceylon (Sri Lanka), kelima negara ini mengajak negara-negara lain di Asia, Afrika, dan Timur Tengah untuk menciptakan etos baru hubungan antara bangsa-bangsa yang disebut “Bandung Spirit”. Para pemimpin di KAA juga mendeklarasikan “Dasasila Bandung” yang mencerminkan komitmen bangsa-bangsa untuk mempraktekkan toleransi dan kedamaian hidup satu sama lain sebagai tetangga yang baik.

Dunia waktu itu terbagi menjadi dua Blok besar yakni Blok Barat dan Blok Timur dalam era yang disebut Perang Dingin. Konferensi ini menjadi dasar berdirinya Gerakan Non-Blok, yang menjadi aktor alternatif dalam konstelasi politik, strategi, maupun keamanan internasional yang pada saat itu didominasi oleh pengaruh Amerika Serikat dan Uni Soviet.

AS yang menjadi pemimpin Blok Barat dan Uni Soviet di Blok Timur berusaha menyebar pengaruh dan dukungan dari negara-negara di Asia dan Afrika. Selain itu, Benua Asia dan Afrika masa itu juga dipengaruhi oleh berbagai bentuk kolonialisme. Beberapa negara Asia dan Afrika mengalami konflik yang muncul sebagai akibat dari kolonialisme dan politik divide et impera. Pada saat itu, PBB tidak mampu menangani permasalahan tersebut

Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 menjadi tonggak penting dalam sejarah bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Para delegasi yang berasal dari 29 negara membahas perdamaian, keamanan, dan pembangunan ekonomi di tengah-tengah berbagai masalah yang muncul di berbagai belahan dunia.

Konferensi itu menjadi penggerak penting dalam perubahan-perubahan besar di Asia-Afrika, sesudah selesainya Perang Dunia II. Juga menjadi pendobrak utama sehingga di Afrika terjadi dinamika politik dan perubahan besar untuk mencapai kemerdekaan.

Konferensi Bandung juga memberikan sumbangan besar kepada berbagai rakyat Afrika, karena mereka kemudian mendapat dorongan untuk mempercepat dan mengembangkan perjuangan mereka untuk merebut kemerdekaan nasional. Dan dampak positif yang mengharumkan Bangsa Indonesia, dimana sampai sekarang, nama Bandung dan Soekarno tetap sangat terkenal di Afrika.

Makna Peringatan

Penyelenggaraan Peringatan KAA ini dimaksudkan untuk menonjolkan kembali arti kepemimpinan Indonesia yang telah digagas para pendiri bangsa pada 1955. Indonesia ingin mengangkat kembali semangat Asia-Afrika pada era abad 21. Beberapa negara di Asia Afrika telah mengalami kemajuan yang pesat, beberapa negara-negara Asia Afrika telah menjadi New Emerging economy, bahkan Emerging Economy. KAA juga ingin memperlihatkan bagaimana Indonesia mengalami kemajuan yang begitu pesat dan tetap dapat memelihara leadership dalam konteks Asia-Afrika.

Menurut Menlu Retno “Jika Asia-Eropa ada ASEM, Asia-Pasifik ada APEC, Asia Timur-Amerika Latin ada FEALAC, Asia-Afrika ada KAA. Maka Asia akan menjadi the engine of growth dan Afrika adalah the continent of hope.”

Saat ini, Asia-Afrika mewakili 75% penduduk di dunia dengan produk domestik bruto (PDB) sebesar USD 21 triliun atau sekitar sepertiga dari PDB dunia, berpotensi punya peran besar menjadi kekuatan ekonomi dunia. Besarnya pasar Asia-Afrika belum seimbang dengan perkembangan ukuran ekonominya saat ini walaupun beberapa anggotanya tercatat dalam 10 negara dengan PDB tertinggi seperti Tiongkok, Rusia, Jepang, India, dan Indonesia.

Momentum peringatan 60 tahun KAA ini juga bisa menjadi penanda kebangkitan politik dan ekonomi negara-negara Asia dan Afrika. Jika abad 20 dunia didominasi oleh Barat, saat ini Asia menjadi kunci pertumbuhan ekonomi dunia. Apalagi pasca krisis ekonomi di Barat yang mendera sejak tahun 2008 yang sampai sekarang belum bisa pulih sepenuhnya. Asia dan Afrika bisa dikatakan menjadi penyelamat ekonomi mereka dengan bangkitnya beberapa negara diatas.

Spirit KAA kali ini juga sebagai simbol bahwasannya kebangkitan ekonomi dua benua ini tidak sama dengan kekuatan hegemoni Barat waktu itu yang menggunakannya sebagai alat untuk mendominasi dunia. Bangkitnya Asia-Afrika membawa ekuilibrium baru pada dunia yang harmonis, saling membantu dan saling menghormati.

Peran Indonesia dengan mengusung kembali Spirit Bandung dengan konteks sekarang tentunya tidak hanya sekedar sebagai media diplomasi, tetapi juga ekonomi untuk membangun kemitraan strategis guna mengajak bersama negara -negara Asia-Afrika membangun abad baru, bangkitnya Abad Asia-Afrika.

Akan tetapi, bangkitnya Asia-Afrika juga masih melalui banyak tantangan terjal terutama konflik di kawasan Timur Tengah dan beberapa negara di Afrika, baik konflik perang saudara maupun antar negara disekitarnya yang mendera dan bahkan baru mulai. Mungkin, Jika Presiden Soekarno masih hidup dan menyaksikan, ia akan tersenyum, tapi dengan senyuman getir. Tersenyum karena bangkitnya Asia-Afrika, tetapi getir karena melihat masih cukup banyak konflik yang terjadi.

*Mahasiswa S2 Jurusan Hubungan Internasional Nanchang University, Nanchang, Tiongkok.

MELIHAT INDONESIA DI CHINA

Posted: April 28, 2015 in Politik, Tiongkok
Tags:

MELIHAT INDONESIA DI CHINA

Oleh: Ahmad Syaifuddin Zuhri

Hubungan Indonesia-China pernah diwarnai pembekuan selama kurang lebih 20 tahun di era 1960an dan normalisasi hubungan mulai 1990. Saat ini mengalami masa keemasannya menjadi hubungan Kemitraan Strategis di 2005 dan meningkat mencapai puncaknya menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif pada 2013 lalu.

Semakin eratnya hubungan kedua negara ini ditandai dengan banyaknya saling kunjung pejabat tinggi dan sejumlah agenda serta nota kerja sama yang disepakati dalam rangkaian kerjasama. Seperti kunjungan terakhir Presiden Jokowi pada 26-28 Maret lalu ke China dan menjadi kunjungan kali keduanya selama hampir enam bulan menjabat.

Sudah banyak tulisan yang membahas dari segi politik atau ekonomi dari hubungan kedua negara. Akan tetapi Penulis mencoba melihat dari dimensi lain: Melihat Indonesia di China dan bagaimana Indonesia di mata publik China?. Paling tidak, seperti apa yang penulis lihat dan amati selama hampir empat tahun tinggal di China.

Karena di China banyak situs populer dari luar yang diblokir termasuk Google. Kami akhirnya terbiasa menggunakan mesin pencari produk asli dan paling populer di China: Baidu. Walau hasilnya memang jauh dari google jika untuk mencari sesuatu informasi yang basisnya dari luar China. Tapi jika untuk mencari artikel atau info berbasis bahasa Mandarin, dia menjadi jagonya. Ya, maklum, lha memang dibuat seperti itu, hehehe.

Untuk mencari informasi seputar Indonesia. Saya mulai dengan memasukkan kata kunci Yinni (Indonesia, dalam bahasa Mandarin). Posisi puncak dalam mesin pencari tersebut selama beberapa tahun sampai tulisan ini saya buat tetap sama: artikel tentang kerusuhan 1998 dengan disertai dua foto -maaf- orang yang sedang membawa parang dan kepala terpotong sambil tertawa di jalanan dan foto korban wanita perkosaan yang ditulis for sale. Sedih dan membikin miris.

Bagi orang yang tidak tahu apa-apa tentang Indonesia pasti dengan kesimpulan singkat akan sangat membenci Indonesia. Selama hampir empat tahun di China dan hampir tiap hari menggunakan Baidu, artikel itu masih setia bercokol diurutan pertama. Walaupun urutan artikel dibawahnya sudah mulai banyak berubah seperti tentang wisata Indonesia dan Bali khususnya.

Bagi orang China, mereka lebih kenal dengan Bali daripada Indonesia. Bali dianggap sebagai salah satu tempat wisata favorit dan terindah. Tapi, bagaimana wisatawan China dengan potensi 100 juta orang tiap tahun yang melancong ke luar negeri dalam melihat Indonesia?.

Berdasarkan data dari pemerintah China. Di Asia, tujuan pertama bagi warga China adalah Jepang. Sementara di Asia Tenggara adalah Thailand disusul Malaysia. Untuk Indonesia, masih cukup sedikit wisatawan China yang datang melancong. Pemerintah RI menargetkan 3 juta turis China ke Indonesia hingga 2016. Sementara, dibandingkan dengan Thailand pada 2013 lalu dan Malaysia pada pertengahan tahun itu sudah berhasil menyedot pelancong China sebanyak 943 ribu lebih. Sedangkan Indonesia, pada tahun yang sama, hanya mampu menarik sekitar 750 ribu orang.

Dari sepuluh negara di ASEAN, warga China lebih mengenal Thailand, Malaysia atau Singapura daripada dengan Indonesia. Bayangkan, negara terbesar di ASEAN, nomor empat penduduk terbesar di dunia dan jarak China-Indonesia juga relatif dekat tetapi tidak cukup terlalu dikenal oleh sebagian orang China.

Orang China lebih suka ke Thailand atau Malaysia. Bahkan, banyak agen perjalanan wisata di China mempromosikan destinasi wisata ke dua negara tersebut dengan mencarter pesawat khusus. Strategi promosi wisata Thailand dan Malaysia memang diakui lebih gencar dan mudah ditemukan ketimbang Indonesia di China.

Mulai dari media sosial, media cetak, TV, sampai mem-branding dalam produk tertentu dan menyebar di sebagian besar wilayah China. Bandingkan dengan promosi Indonesia. Walaupun, akhir-akhir ini sedikit melegakan dengan melihat Indonesia mulai gencar berpromosi tapi tetap saja hanya lebih mudah dikenal di kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai atau Guangzhou.

Diluar wisata, banyak orang China salah menyebut dan mispersepsi bahwa Yinni itu adalah sama dengan Yindu (India). Atau kalau tidak, Yinni bagian dari negara bagian di India. Contohnya, Ada kejadian yang bikin geli tapi memprihatinkan, terjadi ketika kunjungan Presiden Xi Jinping ke Indonesia pada Oktober 2013 lalu. Media TV terbesar dan milik pemerintah China, China Central Television (CCTV), menayangkan laporan khusus pembangunan ekonomi Indonesia. Sang pembawa acara, dengan begitu percaya diri menerangkan tentang Indonesia. Akan tetapi, grafis dibelakangnya tercantum bendera India, Hmm!.

Lain lagi, terutama bagi permpuan Indonesia yang berhijab. Jika warga China berjumpa atau melihatnya, pertanyaan pertama yang sering terlontar adalah: Ni shi MalaIxiya ren ma? (apakah Anda orang Malaysia?). Mungkin karena wajah dan kulit orang Indonesia dengan Malaysia serupa jadi bisa dimaklumi. Hehe.

Bagaimana jika berburu makanan asing terutama produk ASEAN di China? Tak jauh beda dengan cerita di atas. Lebih mudah menemukan makanan Thailand atau Malaysia di minimarket, pusat perbelanjaan atau di situs belanja daring (online). Mulai dari makanan kecil seharga 3 (tiga) yuan sampai yang mahal hingga ratusan yuan. Lha kalau mencari restoran Indonesia?. Mendapati restoran beberapa negara ASEAN seperti Thailand lebih mudah di China.

Untuk restoran Indonesia saat ini sementara yang penulis tahu hanya bisa ditemukan di Beijing, Shanghai, dan Guangzhou itupun bisa dihitung dengan jari. Padahal makanan Indonesia khususnya Nasi Goreng dan Rendang banyak menjadi menu utama sejajar dengan menu-menu dari negara lain di hotel berbintang.

Bagaimana dengan pendidikan?, dari rilis data Atase Pendidikan KBRI Beijing tahun 2013, jumlah pelajar China di Indonesia hingga Juli 2013 yang menempuh pendidikan di Indonesia tercatat 327 orang, sedangkan jumlah pelajar dan mahasiswa Indonesia di China mencapai 13.114 orang.

Indonesia belum menjadi negara tujuan bagi para pelajar dan calon mahasiswa China. Untuk ASEAN negara tujuan utama pendidikan bagi calon pelajar dan mahasiswa China adalah Singapura 88.457 orang, Thailand 12.712 orang dan Malaysia 8.965 orang. Minimnya informasi tentang Perguruan Tinggi di Indonesia sepertinya menjadi salah satu sebabnya.

Banyak perguruan tinggi di Indonesia belum menyediakan informasi dalam dua bahasa di situsnya. Situs lain yang terkait seperti Kementrian Pendidikan juga belum terlalu melek dengan bahasa Inggris. Jika pun terdapat bahasa Inggris-nya, informasi yang disajikan sangat kurang atau bahkan minimalis. Bandingkan dengan kampus-kampus atau situs resmi kementrian terkait di China yang sudah sangat sadar dengan menambah fasilitas dua bahasa atau bahkan lebih.

Diluar aspek-aspek tersebut sebenarnya masih cukup banyak bagi Indonesia untuk bahan evaluasi bersama, baik antar pemerintah maupun warga kedua negara agar bagaimana hubungan yang baik itu berjalan dengan harmonis dan seimbang.

Setelah berjalan 65 tahun, hubungan kedua negara ini harus dikuatkan terutama hubungan antar warga atau People-to-People contact. Pemerintah misalnya, tidak hanya melihat hubungan keberhasilan dari kedua negara dengan angka-angka statistik ekonomi, perdagangan atau investasi ansich. Tapi, bagaimana bisa memaksimalkan potensi kerjasama kedua negara dengan langkah nyata, riil, tidak hanya kalangan elite negara tapi juga bisa antar masyarakat.

Misalnya potensi Diaspora Indonesia di China. Mulai dari professional, pebisnis sampai pelajar. Dalam mempromosikan, mengenalkan atau mungkin bisa membantu menangani agar kejadian-kejadian seperti diatas bisa tertangani demi Indonesia yang tercinta. Dan semoga hubungan kedua negara ini bisa selalu harmonis sepanjang masa.  Dirgahayu 65 tahun RI-RRC!

Nanchang, 16 Maret 2015

Jalur Sutra dan Poros Maritim

Oleh: Ahmad Syaifuddin Zuhri*

Koran Jakarta, 14 April 2015

Pada 13 April kemarin hubungan Indonesia-Tiongkok tepat menginjak 65 tahun. dan sudah sepuluh tahun sejak kedua negara menandatangani Deklarasi Bersama Kemitraan Strategis di Jakarta pada bulan April 2005. Hubungan kemitraan Indonesia- Tiongkok semakin diperkokoh dengan ditandatanganinya Plan of Action Kemitraan Strategis 2010-2015 serta peningkatan Kemitraan Strategis RI – RRT menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif yang tertuang dalam dokumen Future Direction of Indonesia-China Comprehensive Strategic Partnership pada tahun 2013.

Menko Perekonomian Sofyan Djalil menekankan bahwa sebagai mitra komprehesif strategis, RI-RRT perlu untuk memperkuat kerjasama bidang ekonomi, perdagangan, dan investasi, khususnya untuk mensinergikan program utama konektivitas maritim Indonesia dengan program 21st Century Maritime Silk Road atau Jalur Sutra Maritim Tiongkok.

Pada saat Presiden Tiongkok Xi Jinping berkunjung ke Indonesia Oktober 2013, Xi Jinping mengenalkan pertama kali New 21st Century Maritime Silk Road secara global. Hanya satu bulan setelah mengumumkan New Belt Silk Road saat ia melakukan kunjungan ke Kazakhstan.

Bukan tanpa sebab mengapa Indonesia dipilih pertama kali dalam melontarkan gagasan ini. Indonesia dipandang sebagai negara yang sangat strategis baik secara geopolitik maupun geoekonomi di kawasan. Karena inisiatif strategis ini untuk meningkatkan investasi dan kolaborasi dengan seluruh negara yang berkepentingan dengan peningkatan jalur laut. Dan  menawarkan program proyek-proyek infrastruktur utama untuk negara-negara berkembang di dunia.

Dalam beberapa hal, Tiongkok sangat membutuhkan Indonesia untuk meningkatkan keamanan pasokan energi dan Indonesia sebagai pasar yang sangat potensial dengan penduduk sekitar 247 juta orang. Posisi geografis Indonesia yang dilalui selat Malaka, Sunda dan Lombok menjadi jalur utama perdagangan dan keamanan pasokan energi Tiongkok dari arah Timur Tengah dan sebaliknya.

80 persen impor minyak Tiongkok melewati selat ini. Tiongkok juga melihat, Indonesia merupakan roda penggerak penting dalam integrasi ekonomi Tiongkok dengan Asia Tenggara. Dengan konektivitas lebih besar dari sisi transportasi, perdagangan, pariwisata dan people-to-people. Sehingga, Tiongkok sangat berkepentingan dengan Indonesia.

Pada penutupan Konferensi Tahunan Kongres Rakyat Nasional (NPC), badan legislatif tertinggi Tiongkok, dan Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok (CPPCC), badan penasehat politik tertinggi Tiongkok, 15 Maret lalu di Beijing. Menlu Tiongkok, Wang Yi menyatakan “Diplomasi Tiongkok pada 2015 ini akan memfokuskan pada inisiatif One Belt, One Road (yi lu yi dai)”. Realisasi proyek tersebut akan dimulai tahun 2015 ini selama satu dekade kedepan bersama negara-negara berkembang di sekitarnya. Dana investasi yang disiapkan sebesar USD 40 miliar untuk program tersebut.

One Belt One Road atau dikenal juga dengan adalah rencana pembangunan ekonomi yang fokus pada peningkatan perdagangan, infrastruktur, dan konektifitas di kawasan. Dari Eropa melintasi Asia Tengah dan Barat, sementara disisi selatan menghubungkan dengan Asia Tenggara, Afrika dan Eropa.

Sudah lebih dari 30 negara yang tertarik bergabung dengan gagasan Tiongkok ini termasuk Indonesia. Dengan pola melakukan kerja sama perdagangan bebas, pembangunan infrastruktur, pertukaran budaya, dan lainnya dengan negara-negara yang berada di sepanjang jalur tersebut yang akan menghubungkan pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok bagian tenggara dengan negara-negara ASEAN melalui Selat Malaka.

Sementara, di Asia Tengah melalui Samudra Hindia dan negara-negara di Timur Tengah hingga Eropa selatan melalui Laut Merah dan Laut Mediterania, yang akhirnya bertemu dengan jalan sutra darat di Eropa Tengah. Tiongkok sangat berkepentingan Jalur Sutra Baru Abad 21 ini terealisasi khususnya di jalur Asia Tenggara.

Di Indonesia, Jalur Sutra Maritim Tiongkok akan melewati Selat Sunda yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera serta menghubungkan Samudera Hindia dan Laut Jawa, dan Selat Karimata diantara Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera yang juga menghubungkan Laut Jawa dan Laut Tiongkok Selatan.

Dalam catatan historis, Jalur Sutra adalah lintasan jalur darat yang menghubungkan timur dan barat Asia, dari Xi’an di Tiongkok hingga ke Konstatinopel Turki. Para pengelana, pedagang, biarawan sampai para nomaden memanfaatkan jalur ini sehingga menjadi cikal bakal perdagangan modern. Istilah jalur sutra populer karena pedagang Tiongkok banyak membawa sutra sebagai komoditasnya. Jalur Sutra berkembang melintasi samudra hingga menuju Laut Hitam, Laut Marmara Balkan sampai ke Venesia.

Sementara di rute selatan, jalur sutra berkembang melewati Turkestan, Khorasan, Mesopotamia, Antiokia terus ke Mesir dan Afrika. ke arah selatan, pedagang Tiongkok melintasi Laut Tiongkok Selatan, sampai Semenanjung Malaya, melintasi Selat Malaka dan Selat Sunda, kemudian menyeberangi Samudra Hindia. Selama ratusan tahun, jalur ini menjadi mata rantai perdagangan Tiongkok.

Sebagai negara dengan 17.504 pulau, panjang pantai 104.000 km dan luas luas laut 5,8 juta. Presiden Jokowi yang menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia sebagai visi pembangunan selama lima tahun kedepan sejalan dengan rencana pemimpin Tiongkok, Xi Jinping, membangun Jalan Sutra Maritim Baru.

Jalan Sutra Maritim jauh lebih krusial dan bernilai ekonomis ketimbang Sabuk Sutra di bagian utara Tiongkok yang terhubung melalui jalur kereta api. Untuk mewujudkan ide tersebut Tiongkok membangun sebuah institusi keuangan global baru bernama Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB). Institusi itu akan menjadi kreditor untuk pembangunan infrastruktur di kawasan, bahkan global.

Dengan aset USD 50 miliar dan akan ditingkatkan menjadi USD 100 miliar, tujuan dan arah pembentukan AIIB menjadi alternatif rezim keuangan lama seperti Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Dunia, dan Dana Moneter Internasional, yang didominasi AS dan Jepang.

Bagi Indonesia, tawaran kerja sama pembangunan infrastruktur Ini masih menimbulkan pro dan kontra. Ibarat koin mata uang, satu sisi akan mempercepat upaya Jokowi mewujudkan poros maritim. Di sisi lain, ada kekhawatiran dampak negatif yang mungkin timbul. Karena tujuan poros maritim Jokowi secara strategis lebih didasarkan pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur pelabuhan dan infrastruktur pendukungnya.

Kunjungan Presiden Jokowi ke RRT akhir Maret lalu, yang kedua kali dalam kurang dari enam bulan, menekankan persoalan strategis terkait antara Jalan Sutra Maritim dengan konsep poros maritim dunia. Dan persoalan ini juga menyangkut masalah krusial di Laut Tiongkok Selatan.

Untuk itu, Tiongkok berkomitmen kerja sama USD 68,1 miliar ditambah dengan komitmen dalam mata uang yuan sebesar 2,1 miliar RMB atau setara USD 340 juta. Total komitmen yang dibawa pulang dari Tiongkok mencapai USD  68,44 miliar.

Walaupun dalam investment rate jika dibandingkan dengan Jepang, terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Rekam jejak Tiongkok selama ini hanya 1:10 sedangkan Jepang 1:6,5 yang artinya untuk di Tiongkok dari 10 komitmen hanya 1 yang terealisasi sementara dari Jepang lebih tinggi yakni dari 10 komitmen sebanyak 6,5 terealisasi.

Konvergensi dari dua visi maritim ini, Tiongkok yang ingin mengkoneksikan jalur maritim global dan Indonesia ingin mengkoneksikan dan meratakan pembangunan antar pulau, menjadi titik poin yang menarik bagi hubungan kedua negara yang menginjak 65 tahun ini. Tentunya, banyak tantangan dan hambatan khususnya bagi Indonesia agar ide tersebut bisa terealisasi secepatnya dan sekaligus bisa tetap menjaga keharmonisan hubungan kedua negara dengan saling menghormati dan saling menguntungkan.

*Mahasiswa Magister Hubungan Internasional Nanchang University, Nanchang, Tiongkok

Tautan: http://www.koran-jakarta.com/?30129-jalur%20sutera%20dan%20poros%20maritim

SM, REFLEKSI INDO-TIONGKOKRefleksi Hubungan Indonesia-Tiongkok

Oleh: Ahmad Syaifuddin Zuhri

Harian Suara Merdeka, 13 April 2015

Pada 13 April ini tepat 65 tahun hubungan Indonesia-Tiongkok. Kedua negara mulai menjalin hubungan diplomatik pada 13 April 1950. Periode awal hubungan bilateral kedua  negara  terjadi  pada  rentang  waktu tahun 1950-1967. Indonesia tercatat sebagai negara  pertama yang mengakui  berdirinya Tiongkok baru dibawah pemerintahan komunis. Tahun  1953,  Indonesia  mengirim Arnold  Manonutu  sebagai  Duta  Besar Indonesia  pertama  untuk  Beijing,  yang diikuti  dengan  penandatanganan  nota kerjasama  Indonesia  dan  Tiongkok.

Hubungan kedua negara bertambah erat setelah Indonesia menyelenggarakan KAA 18 April – 24 April 1955 di Bandung, yang hasil deklarasinya membawa semangat dan inspirasi bagi negeri-negeri terjajah di Asia dan Afrika.

Pada 30 September 1956, Presiden Indonesia Soekarno mengunjungi Tiongkok.  Di  awal tahun  1960  tercipta  poros  Jakarta-Peking yang  berkembang  menjadi  poros  Jakarta-Peking-Pyongyang. Serangkaian  peristiwa tersebut sekaligus menjadi penanda keeratan hubungan  kedua  negara. Pada 1 April 1961, Tiongkok dan Indonesia menandatangani perjanjian persahabatan dan persetujuan kerja sama kebudayaan bilateral.

Hubungan kedua negara dihentikan sementara tanggal 30 Oktober 1967 karena terjadi peristiwa Gerakan 30 September  (G30S/PKI) 1965, pemerintah Tiongkok dicurigai terlibat atas gerakan tersebut. Pada Oktober  1967  dibawah  pemerintahan Soeharto,  Indonesia  melakukan  pembekuan hubungan  bilateral  serta  hubungan  dagang dengan  Tiongkok.  Pasca  naiknya  Deng Xiaoping  sebagai  pemimpin  baru  Tiongkok, maka di tahun 1980an normalisasi hubungan Jakarta–Beijing  mulai  disuarakan.  Namun keinginan  tersebut  ditentang  oleh  berbagai kalangan,  terutama  Soeharto,  Departemen Pertahanan  Keamanan dan ABRI waktu itu.

Hubungan bilateral kembali pulih sejak 1980-an. Salah satu upaya presiden Soeharto untuk  menggalakkan  ekspor  non migas  yang  tidak  hanya  memasuki  pasar Jepang  dan  Barat. Tiongkok dianggap sebagai negara  dengan  populasi  terpadat  yang juga memiliki  potensi  pasar  yang  besar  bagi produk Indonesia. Dari situ pada Juli 1985, Tiongkok dan Indonesia menandatangani “Memorandum Saling Pengertian (MoU)” untuk membuka kembali perdagangan langsung kedua negara yang terputus.

Menteri Luar Negeri Tiongkok Qian Qichen bertemu Presiden Soeharto dan Menteri Dalam Negeri Moerdiono tahun 1989 untuk mendiskusikan kelanjutan hubungan diplomatik kedua negara. Pada bulan Desember 1989, kedua negara membicarakan masalah teknis mengenai normalisasi hubungan bilateral dan menandatangani perjanjian. Menlu Ali Alatas menerima undangan Tiongkok pada Juli 1990 dan mereka membicarakan perjanjan penyelesaian obligasi utang Indonesia ke Tiongkok dan komunike kelanjutan hubungan diplomatik antar kedua negara. Kedua negara meresmikan “Komunike Restorasi Hubungan Diplomatik Antar Kedua Negara”.

Pada 6 Agustus 1990, Perdana Menteri Tiongkok, Li Peng, menerima undangan Indonesia. Dalam diskusinya dengan Presiden Soeharto, kedua pihak mengekspresikan keinginannya untuk meningkatkan hubungan antar kedua negara atas dasar Pancasila dan Dasasila Bandung. Tanggal 8 Agustus, Menlu Tiongkok dan Indonesia atas nama pemerintah negaranya masing-masing menandatangani nota kesepahaman mengenai kelanjutan hubungan diplomatik. Kedua pihak menyatakan secara resmi melanjutkan hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Indonesia pada hari itu.

Di  masa  pemerintahan  Presiden Abdurrahman  Wahid  (Gus  Dur)  merupakan saat  dimana  Tiongkok  mendapat  kedudukan istimewa  dalam  politik  luar  negeri Indonesia.  Gus Dur menjadikan Tiongkok sebagai negara pertama yang dikunjunginya. Peningkatan hubungan  diplomatik  Indonesia  dan  Tiongkok berkembang  pesat. Di  masa pemerintahan  Presiden  Megawati Soekarnoputri,  kerjasama  antara  Indonesia dan  Tiongkok  terus  berkembang  dengan ditandatanganinya MoU untuk pembentukan forum  energi  kedua  negara  tepatnya  pada tanggal  24  Maret  2002.  Melalui  kerjasama tersebut  menjadi  payung  investasi  Tiongkok  di Indonesia dalam bidang energi.

Dalam kunjungan kenegaraan Presiden Hu Jintao ke Indonesia tahun 2005, bersama dengan Presiden Yudhoyono, menandatangani deklarasi Kemitraan Strategis, di mana kedua negara sepakat untuk mengembangkan kerjasama strategis jangka panjang berlandaskan pada kepentingan dan aspirasi bersama dan saling menghormati perbedaan. Hubungan bilateral meningkat ke level paling tinggi menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif pada Oktober 2013 yang ditanda tangani oleh Presiden Xi Jinping dan Presiden SBY di Jakarta.

Deklarasi kemitraan strategis ini adalah salah satu titik penting dalam hubungan kedua negara. Indonesia mendukung Kebijakan Satu Tiongkok, dan Tiongkok juga menghormati kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia. Hubungan kedua negara semakin erat ditandai oleh kunjungan Presiden Joko Widodo ke Tiongkok selama dua kali yakni pada November 2014 lalu bertepatan dengan APEC dan 26-28 Maret lalu. Tiongkok menjadi salah satu prioritas kebijakan luar negeri Jokowi saat ini terutama kerjasama pembangunan infrastruktur untuk menopang visi pembangunan poros maritim dunia. Pada kunjungan itu, Presiden Joko Widodo dengan Presiden RRT Xi Jinping, menandatangani delapan nota kesepahaman antara Indonesia-Tiongkok.

Dari kedekatan hubungan kedua negara yang semakin erat, setidaknya bagi Indonesia bisa menarik banyak pelajaran dari kemajuan Tiongkok dalam segala bidang. Misalnya dalam hal ekonomi, bagaimana pemerintah Tiongkok dengan banyaknya investasi asing masuk akan tetapi negara tetap punya kontrol yang kuat dan tanpa mengesampingkan kepentingan rakyatnya. hal lainnya adalah ketegasan penegakan hukum terutama dalam pemberantasan korupsi, walaupun pemerintahan dikendalikan oleh satu partai tetapi kemauan kuat mereka akan pemberantasan korupsi sangat kuat.

Diluar itu, hubungan kedua negara juga bukan berarti tanpa tantangan, hubungan kedua negara sempat mengalami gejolak dan menghadapi permasalahan yang disebabkan oleh sejarah masa lalu, kesalahpahaman, dan kurangnya informasi. Rizal Sukma, Direktur Eksekutif CSIS, menyatakan bahwa masalah memori masa lalu dan kekosongan yang terjadi akibat pemutusan hubungan diplomatik pada era ’60an adalah faktor penghambat bertumbuhnya hubungan kedua negara. Banyak orang Tiongkok yang masih menganggap bahwa Indonesia adalah negara yang anti Tionghoa, sehingga sekarang adalah kewajiban kedua negara untuk meluruskan persepsi ini.

Tantangan lainnya antara lain terkait dengan konflik di Laut China Selatan (LCS) yang walaupun tidak atau belum bersentuhan langsung dengan Indonesia, paling tidak Indonesia harus terlibat secara aktif dan waspada. Apalagi saat ini Tiongkok sedang mulai membangun Jalur Sutra Maritim yang peta jalur utamanya melewati LCS dan selat Malaka. Selain itu, komitmen dari banyaknya nota kerjasama yang ditanda tangani juga menjadi tantangan untuk bisa direalisasikan. Dan setelah berjalan 65 tahun, hubungan kedua negara ini harus dikuatkan terutama hubungan antar warga atau People-to-People contact. Karena ini adalah modal dan basis hubungan kedua negara yang bersifat jangka panjang. Dari basis penguatan hubungan inilah diharapkan menjadi penguat dari berbagai sisi dalam hubungan kedua negara seperti pendidikan, sosial budaya, ekonomi dan politik.

*Alumnus Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, mahasiswa Pascasarjana Program Hubungan Internasional, Nanchang University, Tiongkok

建交65周年后印尼与中国关系的未来

Guoji Ribao, 6 April 2015

GUOJIRIBAO, 6-4-2015.JPEG

Relasi Indonesia, Jepang dan Tiongkok

Posted: April 28, 2015 in Politik
Tags:

Solopos, 31-3-2015 JPEGRelasi Indonesia, Jepang dan Tiongkok

Oleh: Ahmad Syaifuddin Zuhri*

Harian SOLOPOS, 31 Maret 2015

Selama sepekan lalu (22-28/3/) Presiden RI Joko Widodo melakukan kunjungan resmi kenegaraan ke dua negara Asia Timur yakni Jepang dan Tiongkok. Kunjungan tersebut menjadi salah satu prioritas kebijakan luar negeri Presiden Jokowi saat ini. Apa makna strategis sehingga kedua negara tersebut menjadi prioritas Presiden Jokowi?.

Hubungan diplomatik Indonesia-Jepang tahun ini tepat 57 tahun. Secara historis, pembukaan resmi hubungan diplomatik kedua negara dimulai pada April 1958. Pasca ditandatanganinya perjanjian San Fransisco yang menyatakan Jepang harus membayar ganti rugi pampasan perang. Pada awal hubungan resmi, disamping perdagangan, Jepang memberi banyak bantuan dan pelatihan sumber daya manusia dan pembangunan infrastruktur.

Di era Soekarno hubungan kedua negara pernah mengalami ketegangan karena Jepang menjadi sekutu AS, dimana waktu itu kebijakan luar negeri Indonesia anti-AS. Akan tetapi hubungan Indonesia-Jepang tidak sampai sedramatis hubungan Indonesia-Tongkok yang pernah mengalami masa sulit pembekuan di era 1960an-1980an. Hubungan kedua negara mulai membaik dan mencapai puncaknya di era Soeharto karena Indonesia lebih dekat dengan AS. Jepang menjadi negara donor terbesar melalui IGGI. Seiring dengan perjalanan waktu, hubungan kedua negara terus meningkat. Apalagi, sejak ditandatanganinya Perjanjian Kemitraan Ekonomi (EPA) oleh kedua pemimpin negara pada 20 Agustus 2007.

Jepang merupakan mitra strategis Indonesia dalam 10 tahun terakhir dan mitra dagang terbesar ketiga dengan nilai perdagangan sebesar US$ 40,2 miliar. Jepang juga merupakan investor terbesar kedua di Indonesia dengan nilai investasi sekitar US$ 2,7 miliar pada 2014.

Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sejak 2010 Jepang senantiasa masuk dalam lima besar negara dengan investasi terbanyak di Indonesia. Bahkan, pada 2013 Jepang merupakan negara dengan investasi terbesar di Indonesia senilai US$ 4,7 miliar.

Sementara pada tahun 2014 investasi Jepang di Indonesia turun menjadi US$ 2,7 miliar. Lebih lanjut, rencana investasi Jepang yang sudah mengajukan permohonan izin ke BKPM periode Januari-Februari 2015 senilai US$ 1,03 miliar. Jumlah ini naik dibandingkan periode yang sama tahun 2014 senilai US$ 319,68 Juta.

Untuk komoditas penting yang diimpor Jepang dari Indonesia antara lain minyak, gas alam cair, batubara, hasil tambang, udang, pulp, tekstil dan produk tekstil, mesin, perlengkapan listrik, dan lainnya. Di sisi lain, barang-barang yang diekspor Jepang ke Indonesia meliputi mesin-mesin, otomotif dan suku-cadang, produk plastik dan kimia, baja, perlengkapan listrik, suku-cadang elektronik dan mesin alat transportasi.

sSementara dengan Tiongkok, tahun ini hubungan kedua negara menginjak 65 tahun dan sudah sepuluh tahun sejak kedua negara menandatangani Deklarasi Bersama Kemitraan Strategis di Jakarta pada April 2005. Hubungan kemitraan Indonesia-Tiongkok semakin diperkokoh dengan ditandatanganinya Plan of Action Kemitraan Strategis 2010-2015 serta peningkatan Kemitraan Strategis RI – RRT menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif yang tertuang dalam dokumen Future Direction of Indonesia-China Comprehensive Strategic Partnership pada tahun 2013. Yang salah satu poinnya adalah meningkatkan pertumbuhan nilai perdagangan kedua negara.

Tiongkok sudah menjadi mitra strategis Indonesia selama 11 tahun terakhir dan mitra dagang terbesar dengan nilai perdagangan US$ 48 milyar. Investasi Tiongkok di Indonesia bernilai tak kurang dari 800 juta dollar AS dan menyumbang wisatawan asing sebanyak 888 ribu orang per tahun.

Di bidang investasi tercatat mengalami perkembangan yang signifikan. Tahun 2013, nilai investasi langsung RRT di Indonesia berjumlah US$ 292,1 juta, sementara tahun sebelumnya berjumlah US$ 141 juta. Tahun ini RI-RRT menargetkan pertumbuhan nilai perdagangan hingga mencapai US$ 80 miliar.

Berdasar data BPS awal 2014 menunjukkan, sepanjang 2013 total nilai perdagangan Indonesia-Tiongkok sebesar USD 50,85 miliar –turun dari 2012 yang USD 51,04 miliar. Perinciannya, ekspor Indonesia ke Tiongkok USD 21,28 miliar, sedangkan impor Indonesia dari Tiongkok mencapai USD 29,57 miliar, defisit sekitar USD 7,99 miliar bagi Indonesia.

Presiden Jokowi menjadikan prioritas utama kerjasama dengan kedua negara tersebut dalam mencari realisasi investasi dan kerjasama untuk program pembangunan visi Poros Maritim dalam beberapa sektor investasi terutama infrastruktur, pelabuhan, airport, power plant, kereta api, tol, dan lainnya.

Dari kunjungan selama sepekan ke dua negara tersebut. Presiden Joko Widodo membawa pulang komitmen senilai sekitar US$ 74,04 atau sekitar Rp 962,52 triliun (kurs RP 13.000 per dollar AS). Dilansir dari Kantor berita Antara, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani di Jakarta, Sabtu (28/3/3015), mengatakan bahwa Presiden Jokowi dalam kunjungan kenegaraan ke Jepang dan Tiongkok diperkirakan mampu mendorong terjadinya komitmen bisnis hingga mencapai puluhan miliar dollar AS yang terdiri dari berbagai macam rencana proyek dan investasi. Komitmen itu terdiri dari komitmen dengan pengusaha di Jepang dan komitmen dengan pengusaha di Tiongkok.

Dalam kunjungannya di Jepang, Presiden Jokowi menghadiri forum kerja sama bisnis yang dihadiri oleh 1.200 pengusaha dari Jepang. Dan komitmen kerja sama business to business yang bisa dihimpun mencapai 5,6 miliar dolar AS.

Sedangkan di Tiongkok, dihimpun komitmen kerja sama US$ 68,1 miliar ditambah dengan komitmen dalam mata uang yuan sebesar 2,1 miliar RMB atau setara US$ 340 juta. Dengan begitu, total komitmen yang dibawa pulang dari Tiongkok mencapai US$  68,44 miliar. Total komitmen yang dibawa pulang Jokowi dalam kunjungan kenegaraan ke Jepang dan Tiongkok mencapai US$ 74,04 miliar.

Tantangan Indonesia

Sementara dalam investment rate kedua negara terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Rekam jejak Tiongkok selama ini hanya 1:10 sedangkan Jepang 1:6,5 yang artinya untuk di Tiongkok dari 10 komitmen hanya 1 yang terealisasi sementara dari Jepang lebih tinggi yakni dari 10 komitmen sebanyak 6,5 terealisasi.

Jika melihat momentum kunjungan Jokowi ke Jepang dan Tiongkok dalam waktu hampir bersamaan. Paling tidak ada beberapa hal tantangan yang harus jadi perhatian Indonesia: Pertama, ditengah hubungan kedua negara Asia Timur tersebut akhir-akhir ini yang sedang memanas terkait konflik di Laut Tiongkok Timur dan lainnya, Indonesia harus memosisikan dengan hati-hati diantara kedua negara tersebut agar tidak menambah konflik. Kedua, menempatkan posisi kedua negara tersebut secara seimbang, tidak ada yang lebih terlihat dominan untuk berinvestasi di Indonesia atau tidak bergantung dari salah satu. Mengantisipasi jika hal terburuk sewaktu-waktu terjadi pada salah satu negara tersebut dengan Indonesia agar tidak mendikte seperti kasus Australia dan Brasil akhir-akhir ini.

Ketiga, Indonesia adalah negara yang sangat strategis di wilayah ASEAN serta sebagai pasar terbesar kedua negara tersebut dengan segala potensi lainnya. Indonesia harus bisa meningkatkan posisi tawar, utamanya dalam meningkatkan keseimbangan neraca perdagangan kedua negara dengan meningkatkan ekspor Indonesia diluar hasil SDA yang tidak terbarukan untuk meningkatkan ekonomi riil di dalam negeri.

Keempat, komitmen perjanjian kerjasama dengan ke dua negara tersebut juga harus diimbangi dengan komitmen dari pemerintah untuk merealisasikannya. Dan terakhir, kelima, kerjasama tersebut harus saling setara, saling menguntungkan dan yang paling penting tanpa mengabaikan kepentingan nasional bangsa ini.

*Mahasiswa S2 Jurusan Hubungan Internasional Nanchang University, Nanchang, Tiongkok