Archive for April, 2016

Menjinakkan Nuklir Korut. KJ, 9-4-2016

“Menjinakkan” Nuklir Korea Utara

Ahmad Syaifuddin Zuhri

Layaknya sebuah rutinitas, kembali, Korea Utara menaikkan tensi ketegangan di Semenanjung Korea. Setelah beberapa kali dalam beberapa tahun terakhir, Korut lagi-lagi melakukan uji coba nuklir dan mengancam akan menyerang Korea Selatan dan AS. Terakhir, Januari lalu, Korut mengklaim sukses meluncurkan bom hidrogen yang mengakibatkan guncangan seismik hingga 5,1 skala Richter. Tindakan Korut ini disusul oleh uji coba roket jarak jauh, yang diklaim Korut sebagai satelit pemantau bumi.

Meskipun banyak pakar meragukan kemampuan nuklir Korut, negara ini telah membuat kemajuan dalam program rudal balistik antarbenua. Teknologi rudal Korut diduga dapat mencapai Pantai Barat AS, meskipun pakar ragu rudal itu bisa mencapai Pantai Timur AS.

“Guncangan” uji coba nuklir Korut tidak berhenti disitu, pada bulan lalu (15/3), kantor berita Korut, KCNA mengeluarkan rilis bahwa negaranya akan segera melakukan uji coba hulu ledak nuklir dan meluncurkan rudal balistik yang mampu membawa hulu ledak nuklir.

Negara tersebut tidak peduli dengan sanksi yang sudah diberikan oleh AS maupun PBB. Ibarat pepatah, anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Keras kepala dan tak kenal gentar. Lalu, apa motivasi Korut tersebut dan bagaimana negara-negara besar selain AS dalam menghadapi kebandelan Korut tersebut? khususnya Tiongkok dan Rusia. Dua negara besar yang secara geografis, geopolitik sangat berkepentingan dengan Korut.

Perilaku Eksibionisme Korut akan kemampuan teknologi militernya memang sudah turun temurun sejak negara itu dilanda kekalahan perang dengan Korea Selatan. Korut ingin meneguhkan dirinya bahwa dia mampu melawan negara yang dianggap musuhnya terutama dengan AS dan sekutunya dengan mengembangkan senjata nuklir. Karena baginya, nuklir adalah satu-satunya alat tawar atau bargaining position untuk menaikkan posisinya. Korut sudah empat kali melakukan uji coba nuklirnya mulai 2006, 2009, 2013 dan sekarang.

Memang, sikap AS terhadap Korut tidak se”garang” jika dibandingkan, misalnya, dengan sikap AS ke Afganistan atau Irak. Amerika Serikat hanya mengganjar sanksi-sanksi tertentu dengan mengajak sekutunya dan DK PBB. Sanksi ini diharapkan semakin membuat negara itu terkucil di kancah global Sanksi ini dijatuhkan kepada Korut melalui perintah eksekutif dari Presiden Barack Obama, Rabu (16/3).

Sanksi berupa pembekuan semua properti pemerintah Korut di AS dan pelarangan ekspor barang-barang dari AS ke Korut. Karena di belakang Korut memang terdapat dua negara raksasa terutama Tiongkok. Yang dihindari oleh AS secara langsung jika terjadi konflik.

Kengototan Korut memang tidak terlepas dari sokongan Tiongkok. Walau akhir-akhir ini di dalam negeri Tiongkok sendiri banyak pro-kontra akan dukungan terhadap sikap Korut. Andrew Scobell dalam buku China and North Korea: From Comrades-in-Arms to Allies at Arm’s Length, menulis tentang dasar-dasar kerjasama Beijing-Pyongyang yang punya sejarah kerjasama militer yang sudah berusia lebih dari setengah abad.

Dari sisi geopolitis, Semenanjung Korea berbatasan sekitar 850 mil dari Tiongkok. Sehingga Korut menjadi sebuah negara pembatas atau buffer state yang sangat  penting bagi Tiongkok. Korut adalah pembatas terakhir Tiongkok dengan Korsel, dimana tempat sekitar 29.000 personil militer AS berada.

Dalam catatan sejarah awal abad 20, Kekaisaran Jepang masuk ke Tiongkok untuk menginvasi melalui Semenanjung Korea. Korea pula yang jadi gerbang masuk pasukan Jenderal Douglas MacArthur saat Amerika memutuskan melakukan intervensi dalam Perang Korea pada 1950-an dan membantu Korea Selatan.

Korea Utara waktu itu berada di ambang kekalahan. Tapi posisinya yang sangat penting membuat Mao Zedong memutuskan untuk mengirimkan bantuan ratusan ribu pasukan sukarela. Perang Korea berakhir dengan penandatanganan gencatan senjata antara kedua Korea pada 1953. Begitu vitalnya letak geografis Korut bagi Tiongkok, Pada Juli 1961, Tiongkok-Korut melakukan penandatangan Traktat Persahabatan, Kerjasama, dan Bantuan Imbal-Balik (Treaty of Friendship, Cooperation and Mutual Assistance). Yang berisi antara lain saling memberikan bantuan militer apabila salah satu dari kedua negara diserang, menghormati dan tak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara, serta melakukan kerjasama bidang ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan.

Kedua negara itu juga mempunyai kesamaan secara ideologis yakni Sosialis Komunis. Ketika Uni Soviet runtuh akhir 1980-an, Beijing melihat Pyongyang sebagai satu-satunya “kawan ideologisnya” yang masih tersisa. Scobell mengatakan, bahwa hal ini terkait erat dengan legitimasi politis rezim komunis Tiongkok, makin banyak rezim komunis terguling berarti makin sulit pula bagi yang masih ada untuk mengukuhkan legitimasinya. Walaupun saat ini kesamaan ideologis itu sudah tidak menjadi hal utama lagi, terutama pasca era perang dingin usai.

Secara ekonomi, hingga saat ini, Korut masih sangat bergantung sepenuhnya pada Tiongkok. 90 persen kebutuhan energi, 80 persen kebutuhan barang konsumsi, dan 45 persen kebutuhan makanan Korut seluruhnya berasal dari perdagangannya dengan Tiongkok (Jayshree Bajoria, The China-North Korea Relationship). Meskipun dalam empat tahun terakhir relasi kedua negara cenderung mendingin, Beijing tetap berupaya mendukung Pyongyang.

Sikap Tiongkok sendiri sangat ditunggu dunia untuk menjinakkan Korut. Pada pertemuan level pejabat tinggi antara Menlu Tiongkok, Wang Yi dan Menlu Rusia, Sergei Lavrov di Moscow pada Jumat pekan lalu, menyepakati bahwa Tiongkok dan Rusia menginginkan Korut untuk kembali melakukan dialog terkait pengembangan nuklirnya. Dua negara tersebut sangat berkepentingan dalam menjaga stabilitas di kawasan terutama aktifitas militer.

Rusia dan Tiongkok juga berbeda pendapat dengan sikap AS yang akan membangun sistem pertahanan misil di Korea Selatan untuk melawan Pyongyang. Sistem yang disebut dengan Terminal High Altitude Area Defense (THAAD). Sistem pertahanan udara canggih itu memiliki radar yang mampu melacak sejumlah rudal balistik hingga 2.000 kilometer. Jika ditempatkan di Korsel, jarak jangkauan operasinya mampu mencapai wilayah Tiongkok.

Jia Qinggou, Profesor Ilmu Politik di Universitas Beijing, mengatakan bahwa strategi pendekatan Tiongkok ke Korut harus dirubah. Tiongkok sebaiknya melihat kasus Korea Utara sebagai alasan untuk memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat. Jia Qinggou adalah penganut strategi baru, yang ingin sikap lebih tegas terhadap Korea Utara. Zhang Liangui dari Sekolah Tinggi Partai Komunis atau Gong Dang Xueyuan di Beijing juga menuntut hal yang sama. Dalam harian Tiongkok ”Global Times” ia menerangkan, terlalu naif untuk percaya bahwa Korea Utara bisa dibujuk untuk meninggalkan program nuklirnya.

Terlepas dari sikap AS dan sekutunya yang berbeda pendapat dengan Rusia dan Tiongkok dalam pendekatan menyikapi Korut. Diplomasi internasional untuk meredam ambisi Korut harus terus dilakukan secara terus menerus dan jangka panjang. Kita tidak ingin kawasan Asia Timur menjadi medan perang pertunjukkan kekuatan seperti di Timur Tengah. Walau kecil kemungkinan itu akan terjadi.

Naiknya kembali tensi di Semenanjung Korea sangat mendesak untuk segera ditangani dengan pendekatan yang terbaik. Menghindari kerugian dari semua pihak, terutama korban sipil karena perdamaian dan stabilitas dunia adalah tujuan utama bagi terciptanya dunia yang harmonis. Seperti apa yang diajarkan dalam kesamaan akar budaya Asia Timur, Konfusionisme, bahwa keharmonisan dan kasih sayang adalah segalanya.

*Dosen FISIP HI UIN Jakarta, Alumni S2 Nanchang University, Nanchang, Tiongkok.

http://www.koran-jakarta.com/menjinakkan-nuklir-korut/