Archive for the ‘Tiongkok’ Category

Pelajaran Mudik dari Tiongkok, Tribun Jateng

 

Pelajaran dari Mudik Tiongkok

Oleh: Ahmad Syaifuddin Zuhri

Koran Tribun Jawa Tengah, 12 Februari 2016

Imlek yang jatuh pada 8 Februari ini adalah momentum perayaan tahun baru khas Tiongkok yang populer diseluruh dunia. Bahkan bisadi katakan menempati posisi kedua setelah perayaan tahun baru masehi.

Imlek sendiri berasal dari bahasa Hokkian, Im: Bulan dan Lek: kalender, atau dalam bahasa Mandarin:Yinli. Di Tiongkok sendiri lebih populer disebut denganChun Jie (baca: chuncie) atau festival musim semi.

Penanggalan Imlek sendiri menganut perhitungan sistem lunar atau bulan yang dipadukan dengan penanggalan masa tanam atau dikenal denganNong Li, hampir sama dengan penanggalan dalam Hijriah.

Dalam sejarahnya, konon Imlek merupakan sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di Tiongkok yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Perayaan ini juga erat dengan pesta menyambut musim semi.

Perayaan Imlek dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 di bulan pertama atau lebih dikenal denganYuanxiao Jie (Lantern Festival), yang di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Cap Go Meh.

Imlek di Tiongkok menjadi sangat menarik dan mempunyai tradisi yang hampir sama dengan tradisi di Indonesia di kala Lebaran. Yakni tradisi mudik ke kampung untuk bertemu dengan leluhur, keluarga, tetangga, dan lain-lain.

Di Tiongkok, Imlek menjadi liburan yang sangat ditunggu oleh seluruh lapisan masyarakat. Secara resmi, pemerintah Tiongkok mengeluarkan kebijakan libur nasional selama sepekan penuh. Perpaduan liburan dan merayakan tradisi itulah yang menyebabkan terjadinya migrasi besar-besaran -yang konon terbesar di dunia- masyarakat Tiongkok

Tradisi-tradisi yang selalu menjadi penghias ketika Imlek tiba di antaranya: berkumpul dengan keluarga, memberi hongbao (angpao), berkunjung ke tetangga, baju baru, makan bersama dan memberi parsel, membersihkan rumah, berziarah, dan membersihkan makam leluhur, dan lain sebagainya.

Fenomena Chunyun

Mudik dalam Imlek atau dikenal dengan Chunyun adalah fenomena tahunan yang menjadi agenda sangat penting dalam transportasi di Tiongkok.

Pada mudik Imlek tahun 2015 lalu saja, dalam rilis resmi oleh Kementerian Perhubungan Tiongkok.Total 2.81 miliar penumpang selama 40 hari liburan musim Imlek. Naik 3,5 persen dari periode tahun 2014. Yang terdiri dari 2,42 miliar pemudik melalui jalan raya, 295 juta melalui kereta api, 42,84 juta melalui jalur air dan 49,14 juta pemudik melalui udara. Maka, tak heran tradisi mudik Imlek di Tiongkok disebut sebagai migrasi terbesar manusia di dunia.

Selain dengan moda transportasi massal, mudik di Tiongkok juga diramaikan dengan berkendaraan roda dua. Biasanya karena daerah yang dituju tidak dilalui oleh kereta api atau bus. Tetapi,pemudik dengan motor roda dua ini relatif sedikit. Tahun ini diperkirakan hanya 40.000 motor, yang kebanyakan di daerah Tiongkok selatan dengan topografi daerah bergunung.

Menghadapi besarnya angka mudik tersebut, pemerintah Tiongkok dengan sangat serius membangun jaringan ribuan kilometer jalan tol dan rel kereta api. Dua tulang punggung infrastruktur transportasi di Tiongkok. Khususnya moda kereta api. Pemerintah membangun banyak jaringan rel baru dan kereta super cepat dengan daya dukung stasiun yang mampu menampung ratusan ribu orang tiap harinya. Mega-stasiun di Tiongkok bisa ditemukan di banyak kota-kota besar. Fasilitas, kenyamanan dan keamanannya setara dengan bandara internasional.

Tidak ada pembangunan yang terkesan tambal sulam layaknya menjelang musim mudik di Indonesia terutama di jalur Pantura. Semua perencanaan dan pembangunan infrastruktur mereka siapkan dengan sangat matang, terintegrasi, nyaman dan aman. Sehingga, ketika Imlek tiba sangat siap dilalui.

Menariknya lagi, tidak ada kenaikan harga tiket ataupun kemacetan super parah seperti kita lihat di Indonesia ketika musim mudik Lebaran tiba. Harga tiket pesawat atau kereta api tidak terjadi lonjakan alias normal.

Bahkan harga tiket pesawat banyak promosi dan bisa hampir setengah di bawah harga normal. PemerintahTiongkok benar-benar memfasilitasi warga yang akan mudik Imlek secara maksimal. Mereka sangat menyadari bahwa pelayanan prima adalah hal mutlak yang tidak bisa ditawar.

Tingginya tingkat urbanisas idengan pertumbuhan massif kota-kota mega politan menjadi fenomena yang benar-benar menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Walaupun pemerintah sudah berusaha menyeimbangkan pembangunan antara Tiongkok bagian timur dan barat.Tetapi, arus urbanisasi tetap tinggi di daerah timur seperti di Beijing, Shanghai, Guangzhou, Hangzhou, Shenzhen, dan lainnya.

Libur Imlek tidak hanya dinikmati dengan berlibur selama tujuh hari ketika masyarakat Tiongkok mudik bertemu keluarga di rumah. Akan tetapi juga menjadi waktu mereka untuk menghabiskan liburan hingga keluar negeri. Fenomena liburan keluar negeri bagi masyarakat Tiongkok saat ini menjadi fenomena yang biasa. Apalagi, semenjak meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat Tiongkok akhir-akhir ini.

Menjadi Contoh

Ctrips Internasional, agensi perjalanan wisata terbesar di Tiongkok, memperkirakan bahwa liburan Imlek tahun ini akan ada 6 juta perjalanan wisatawan ke luar negeri. Peningkatan wisatawan itu juga berdampak dengan peningkatan biaya rata-rata belanja perwisatawan yang diperkirakan sampai 10 ribu Yuan (USD 1,520), belum termasuk biaya belanja di lokasi wisata.

Tak heran, negara dengan penduduk nomor satu dunia dengan populasi sekitar 1,3 miliar tersebut, layak menjadi banyak contoh dan pelajaran. BagaimanaTiongkok yang 20 atau 30 tahun lalu dikategorikan negara miskin, tingkat korupsi tinggi dan semrawut, saat ini begitu pesat kemajuannya di segala bidang. Perpaduan antara pembangunan yang berpegang teguh dengan tradisi. Tanpa menghilangkan jejak-jejak kultural yang ribuan tahun turun-temurun hingga kini. Gongxi Fa Cai, Wanshi Ru Yi

Direktur Eksekutif Pusat Pengembangan Budaya Islam-China MAJT Semarang

Alumnus S2 HI Nanchang University, China

http://jateng.tribunnews.com/2016/02/12/pelajaran-dari-mudiktiongkok

Diplomasi KA Cepat Xi Jinping

Oleh: Ahmad Syaifuddin Zuhri*

Koran Jakarta, 27 April 2015

Di sela pertemuan KAA ke-60, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Pertemuan yang membahas sejumlah topik. Mulai dari tindak lanjut pertemuan di Beijing November dan Maret lalu sampai keterlibatan Tiongkok dalam proyek-proyek infrastruktur di Indonesia.

Jokowi ingin memastikan realisasi keterlibatan Negeri Tirai Bambu dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Meliputi pembangunan 24 pelabuhan, 15 pelabuhan udara, pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer, pembangunan jalan kereta sepanjang 8.700 km, dan pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW. Selain itu, Tiongkok juga akan terlibat dalam pembangunan kereta api (KA) cepat Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya.

Rencana pemerintah RI membangun proyek kereta api super cepat atau High Speed Railway (HSR) Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya menjadi incaran strategis dua raksasa negara Asia Timur: Tiongkok dan Jepang. Yang paling agresif saat ini adalah pemerintah Tiongkok.

Selama ini ketika kita menyebut Tiongkok dalam hal produk ekspor, adalah identik dengan barang-barang kecil yang murah seperti mainan, produk tekstil dan lain sebagainya. Akan tetapi, Tiongkok mulai punya brand baru dalam ekspor utama negara tersebut yakni kereta api super cepat (HSR). Saat ini Tiongkok menjadi kekuatan baru dalam teknologi kereta super cepat di dunia.

Kereta api cepat Tiongkok atau disebut dengan Gaotie (China Rail Highway) dengan kecepatan rata-rata 300 km per jam. Dimulai sejak 2008 dengan rute Beijing-Tianjin sepanjang sekitar 120 km dengan jarak tampuh sekitar 33 menit.

Hanya dalam waktu tujuh tahun (2008-2015), Tiongkok sudah membangun 16.000 km dan akan ditambah lagi 16.000 km sampai tahun 2020 dengan jalur rel yang sebagian besar jalur layang. Jalur tersebut melengkapi jalur kereta biasa sepanjang sekitar 120.000 km yang sudah melintasi negara tersebut. Dari 31 propinsi di negara tersebut, saat ini setidaknya sudah 28 kota sudah terkoneksi dengan jaringan kereta api cepat ini.

Saat ini tidak ada simbol yang lebih baik dalam aspek pembangunan Tiongkok selain kemampuan dalam pembangunan kereta super cepat. Padahal, selama lebih dari satu dekade sebelumnya, Tiongkok masih mengimpor teknologi dari luar negeri seperti Jepang, Perancis dan Jerman.

Dengan strategi introduction, digestion, absorption and innovation” industri perkeretaapian negara itu melesat cepat melalui dua perusahaan China North Railway Corp (CNRP) dan China South Railway (CSR). Dua perusahaan BUMN Tiongkok produsen kereta api yang melakukan merjer awal Maret lalu dan saat ini menguasai 10 persen pasar global.

Dengan kesuksesan di dalam negeri, Tiongkok sangat berambisi bisa melebarkan kemajuan teknologi HSR ke seluruh dunia dengan berkompetisi dengan pendahulunya seperti Kawasaki Jepang, Korsel, Siemens Jerman, Alstom Perancis dan Bombardier Kanada.

Walaupun sebagai pendatang baru, Tiongkok menjadi kompetitor baru yang mulai mengancam para produsen pendahulunya. Dikutip dari Firma konsultan transportasi Jerman, SCI Verkehr, mengatakan bahwa kelebihan Tiongkok diantara perusahaan lainnya adalah harga HSR yang kompetitif dan pengiriman yang cepat.

Saat ini terdapat lebih dari 20 negara yang mulai intens untuk memesan produk HSR dari Tiongkok seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Inggris, Rusia, AS, India, Brasil dan beberapa negara Afrika. Sementara yang sudah deal seperti jalur Ankara-Istanbul, Turki dan Haramain, Arab Saudi.

Ekspansi HSR Tiongkok juga sejalan dari proyek negara tersebut yang menginisiasi proyek Jalur Sutra Maritim dan Jalur Sutra Baru Abad 21 yang dikenalkan oleh Presiden Xi Jinping sejak 2013. Tahun ini mulai realisasi dengan menghubungkan Tiongkok dengan negara-negara Asia Tengah sampai Eropa.

Sedangkan di sisi selatan, dari Tiongkok ke wilayah ASEAN seperti Thailand, Malaysia dan Singapura yang pembangunannya dimulai tahun 2015 ini juga. Menurut Bea Cukai Tiongkok, tahun lalu negara itu sudah mengekspor peralatan kereta api sekitar 26.77 miliar yuan atau USD 4.36 juta meningkat lebih dari 22.6 persen dari tahun sebelumnya.

Oleh karena itu pemerintah Tiongkok menjadikan ekspansi HRS ke luar negeri menjadi salah satu poin utama dalam kebijakan luar negerinya saat ini dengan didukung oleh pembiayaan dan sumber daya dari negara tersebut.

Awal November 2014 lalu, sebuah konsorsium perusahaan Tiongkok yang dipimpin oleh CRCC memenangkan kontrak senilai US$ 3,7 miliar untuk membangun rel kereta cepat di Meksiko. Kontrak yang kemudian dibatalkan beberapa hari setelah ditemukan bukti adanya korupsi oleh pejabat Meksiko. Namun, kontrak yang batal itu masih merupakan pertanda adanya permintaan terhadap teknologi perkeretaapian Tiongkok.

Kereta api Tiongkok juga tak terbatas hanya untuk negara berkembang saja. Di tahun yang sama, otoritas kereta api Boston, Amerika Serikat, menandatangani kontrak dengan CNP Corporation asal Tiongkok untuk membuat 284 gerbong kereta bawah tanah.

Selain untuk menstimulasi permintaan manufaktur domestik terhadap produk baja lewat ekspor peralatan kereta api, pemimpin Tiongkok juga berharap bahwa kesepakatan kontrak proyek ini juga menguntungkan mereka dalam ranah soft power.

Dalam hukum ekonomi berlaku ketentuan mutlak, transportasi yang efektif menekan biaya, sedangkan transportasi buruk meningkatkan harga. Aksioma ini dipahami betul oleh Tiongkok. Tapi bagi kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia itu, transportasi bukan hanya soal ekonomi melainkan juga sebagai alat dalam pengaruh politik.

Dengan modal ekonomi, teknologi dan sumber daya yang kuat. Diplomasi HSR Tiongkok saat ini mulai menggeliat dan melaju cepat sebagai bagian dari soft power untuk pencitraan dan pengaruh negara tersebut di ranah global. Keberhasilan Tiongkok dalam kereta api berkecepatan tinggi memperkuat soft power-nya untuk membuktikan bahwa Tiongkok tidak hanya bisa mengekspor “Made in China” yang selama ini identik dengan barang murah seperti mainan atau sepatu.

Terkait pembiayaan, jika Jepang menawarkan skema pembiayaan 10 persen swasta, 74 persen  pembiayaan dari BUMN khusus yang dibentuk untuk proyek ini dan pemerintah berkontribusi 16 persen. Sementara Tiongkok, penawaran pembangunan kereta cepat oleh presidennya langsung, siap dengan pembiayaan penuh. “Pemerintah Tiongkok sudah sepakat akan membangun kereta api cepat Jakarta-Bandung, dan terbuka kemungkinan juga untuk Jakarta-Surabaya,” kata Xi Jinping

Tentu saja, tawaran Tiongkok bukan sebatas proyek amal dan kerjasama gratis. Tiongkok saat ini sangat membutuhkan pasokan energi untuk kebutuhan dalam negerinya yang semakin meningkat. Tiongkok menawarkan akan menanggung seluruh biaya proyek kereta api akan tetapi sebagai imbalan ia mendapat sumber daya alam atau energi yang tak dimiliki. Tongkok lebih tertarik investasi bila negara tujuan terlibat membayar dengan sumber daya alam yang mereka miliki ketimbang membantu investasi modal.

Dan Indonesia, jangan hanya menerima investasi Tiongkok tersebut taken of granted tapi bagaimana dengan meningkatkan posisi tawar, strategis dan cerdas bisa saling menguntungkan seperti transfer teknologi dan pendayagunaan SDM lokal serta paling penting, tidak mengabaikan kepentingan nasional bangsa.

*Mahasiswa Pascasarjana Program Hubungan Internasional, Nanchang University, Nanchang, Tiongkok

Tautan: http://www.koran-jakarta.com/?30558-diplomasi+ka+cepat+xi+jinping

MELIHAT INDONESIA DI CHINA

Posted: April 28, 2015 in Politik, Tiongkok
Tags:

MELIHAT INDONESIA DI CHINA

Oleh: Ahmad Syaifuddin Zuhri

Hubungan Indonesia-China pernah diwarnai pembekuan selama kurang lebih 20 tahun di era 1960an dan normalisasi hubungan mulai 1990. Saat ini mengalami masa keemasannya menjadi hubungan Kemitraan Strategis di 2005 dan meningkat mencapai puncaknya menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif pada 2013 lalu.

Semakin eratnya hubungan kedua negara ini ditandai dengan banyaknya saling kunjung pejabat tinggi dan sejumlah agenda serta nota kerja sama yang disepakati dalam rangkaian kerjasama. Seperti kunjungan terakhir Presiden Jokowi pada 26-28 Maret lalu ke China dan menjadi kunjungan kali keduanya selama hampir enam bulan menjabat.

Sudah banyak tulisan yang membahas dari segi politik atau ekonomi dari hubungan kedua negara. Akan tetapi Penulis mencoba melihat dari dimensi lain: Melihat Indonesia di China dan bagaimana Indonesia di mata publik China?. Paling tidak, seperti apa yang penulis lihat dan amati selama hampir empat tahun tinggal di China.

Karena di China banyak situs populer dari luar yang diblokir termasuk Google. Kami akhirnya terbiasa menggunakan mesin pencari produk asli dan paling populer di China: Baidu. Walau hasilnya memang jauh dari google jika untuk mencari sesuatu informasi yang basisnya dari luar China. Tapi jika untuk mencari artikel atau info berbasis bahasa Mandarin, dia menjadi jagonya. Ya, maklum, lha memang dibuat seperti itu, hehehe.

Untuk mencari informasi seputar Indonesia. Saya mulai dengan memasukkan kata kunci Yinni (Indonesia, dalam bahasa Mandarin). Posisi puncak dalam mesin pencari tersebut selama beberapa tahun sampai tulisan ini saya buat tetap sama: artikel tentang kerusuhan 1998 dengan disertai dua foto -maaf- orang yang sedang membawa parang dan kepala terpotong sambil tertawa di jalanan dan foto korban wanita perkosaan yang ditulis for sale. Sedih dan membikin miris.

Bagi orang yang tidak tahu apa-apa tentang Indonesia pasti dengan kesimpulan singkat akan sangat membenci Indonesia. Selama hampir empat tahun di China dan hampir tiap hari menggunakan Baidu, artikel itu masih setia bercokol diurutan pertama. Walaupun urutan artikel dibawahnya sudah mulai banyak berubah seperti tentang wisata Indonesia dan Bali khususnya.

Bagi orang China, mereka lebih kenal dengan Bali daripada Indonesia. Bali dianggap sebagai salah satu tempat wisata favorit dan terindah. Tapi, bagaimana wisatawan China dengan potensi 100 juta orang tiap tahun yang melancong ke luar negeri dalam melihat Indonesia?.

Berdasarkan data dari pemerintah China. Di Asia, tujuan pertama bagi warga China adalah Jepang. Sementara di Asia Tenggara adalah Thailand disusul Malaysia. Untuk Indonesia, masih cukup sedikit wisatawan China yang datang melancong. Pemerintah RI menargetkan 3 juta turis China ke Indonesia hingga 2016. Sementara, dibandingkan dengan Thailand pada 2013 lalu dan Malaysia pada pertengahan tahun itu sudah berhasil menyedot pelancong China sebanyak 943 ribu lebih. Sedangkan Indonesia, pada tahun yang sama, hanya mampu menarik sekitar 750 ribu orang.

Dari sepuluh negara di ASEAN, warga China lebih mengenal Thailand, Malaysia atau Singapura daripada dengan Indonesia. Bayangkan, negara terbesar di ASEAN, nomor empat penduduk terbesar di dunia dan jarak China-Indonesia juga relatif dekat tetapi tidak cukup terlalu dikenal oleh sebagian orang China.

Orang China lebih suka ke Thailand atau Malaysia. Bahkan, banyak agen perjalanan wisata di China mempromosikan destinasi wisata ke dua negara tersebut dengan mencarter pesawat khusus. Strategi promosi wisata Thailand dan Malaysia memang diakui lebih gencar dan mudah ditemukan ketimbang Indonesia di China.

Mulai dari media sosial, media cetak, TV, sampai mem-branding dalam produk tertentu dan menyebar di sebagian besar wilayah China. Bandingkan dengan promosi Indonesia. Walaupun, akhir-akhir ini sedikit melegakan dengan melihat Indonesia mulai gencar berpromosi tapi tetap saja hanya lebih mudah dikenal di kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai atau Guangzhou.

Diluar wisata, banyak orang China salah menyebut dan mispersepsi bahwa Yinni itu adalah sama dengan Yindu (India). Atau kalau tidak, Yinni bagian dari negara bagian di India. Contohnya, Ada kejadian yang bikin geli tapi memprihatinkan, terjadi ketika kunjungan Presiden Xi Jinping ke Indonesia pada Oktober 2013 lalu. Media TV terbesar dan milik pemerintah China, China Central Television (CCTV), menayangkan laporan khusus pembangunan ekonomi Indonesia. Sang pembawa acara, dengan begitu percaya diri menerangkan tentang Indonesia. Akan tetapi, grafis dibelakangnya tercantum bendera India, Hmm!.

Lain lagi, terutama bagi permpuan Indonesia yang berhijab. Jika warga China berjumpa atau melihatnya, pertanyaan pertama yang sering terlontar adalah: Ni shi MalaIxiya ren ma? (apakah Anda orang Malaysia?). Mungkin karena wajah dan kulit orang Indonesia dengan Malaysia serupa jadi bisa dimaklumi. Hehe.

Bagaimana jika berburu makanan asing terutama produk ASEAN di China? Tak jauh beda dengan cerita di atas. Lebih mudah menemukan makanan Thailand atau Malaysia di minimarket, pusat perbelanjaan atau di situs belanja daring (online). Mulai dari makanan kecil seharga 3 (tiga) yuan sampai yang mahal hingga ratusan yuan. Lha kalau mencari restoran Indonesia?. Mendapati restoran beberapa negara ASEAN seperti Thailand lebih mudah di China.

Untuk restoran Indonesia saat ini sementara yang penulis tahu hanya bisa ditemukan di Beijing, Shanghai, dan Guangzhou itupun bisa dihitung dengan jari. Padahal makanan Indonesia khususnya Nasi Goreng dan Rendang banyak menjadi menu utama sejajar dengan menu-menu dari negara lain di hotel berbintang.

Bagaimana dengan pendidikan?, dari rilis data Atase Pendidikan KBRI Beijing tahun 2013, jumlah pelajar China di Indonesia hingga Juli 2013 yang menempuh pendidikan di Indonesia tercatat 327 orang, sedangkan jumlah pelajar dan mahasiswa Indonesia di China mencapai 13.114 orang.

Indonesia belum menjadi negara tujuan bagi para pelajar dan calon mahasiswa China. Untuk ASEAN negara tujuan utama pendidikan bagi calon pelajar dan mahasiswa China adalah Singapura 88.457 orang, Thailand 12.712 orang dan Malaysia 8.965 orang. Minimnya informasi tentang Perguruan Tinggi di Indonesia sepertinya menjadi salah satu sebabnya.

Banyak perguruan tinggi di Indonesia belum menyediakan informasi dalam dua bahasa di situsnya. Situs lain yang terkait seperti Kementrian Pendidikan juga belum terlalu melek dengan bahasa Inggris. Jika pun terdapat bahasa Inggris-nya, informasi yang disajikan sangat kurang atau bahkan minimalis. Bandingkan dengan kampus-kampus atau situs resmi kementrian terkait di China yang sudah sangat sadar dengan menambah fasilitas dua bahasa atau bahkan lebih.

Diluar aspek-aspek tersebut sebenarnya masih cukup banyak bagi Indonesia untuk bahan evaluasi bersama, baik antar pemerintah maupun warga kedua negara agar bagaimana hubungan yang baik itu berjalan dengan harmonis dan seimbang.

Setelah berjalan 65 tahun, hubungan kedua negara ini harus dikuatkan terutama hubungan antar warga atau People-to-People contact. Pemerintah misalnya, tidak hanya melihat hubungan keberhasilan dari kedua negara dengan angka-angka statistik ekonomi, perdagangan atau investasi ansich. Tapi, bagaimana bisa memaksimalkan potensi kerjasama kedua negara dengan langkah nyata, riil, tidak hanya kalangan elite negara tapi juga bisa antar masyarakat.

Misalnya potensi Diaspora Indonesia di China. Mulai dari professional, pebisnis sampai pelajar. Dalam mempromosikan, mengenalkan atau mungkin bisa membantu menangani agar kejadian-kejadian seperti diatas bisa tertangani demi Indonesia yang tercinta. Dan semoga hubungan kedua negara ini bisa selalu harmonis sepanjang masa.  Dirgahayu 65 tahun RI-RRC!

Nanchang, 16 Maret 2015

Jalur Sutra dan Poros Maritim

Oleh: Ahmad Syaifuddin Zuhri*

Koran Jakarta, 14 April 2015

Pada 13 April kemarin hubungan Indonesia-Tiongkok tepat menginjak 65 tahun. dan sudah sepuluh tahun sejak kedua negara menandatangani Deklarasi Bersama Kemitraan Strategis di Jakarta pada bulan April 2005. Hubungan kemitraan Indonesia- Tiongkok semakin diperkokoh dengan ditandatanganinya Plan of Action Kemitraan Strategis 2010-2015 serta peningkatan Kemitraan Strategis RI – RRT menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif yang tertuang dalam dokumen Future Direction of Indonesia-China Comprehensive Strategic Partnership pada tahun 2013.

Menko Perekonomian Sofyan Djalil menekankan bahwa sebagai mitra komprehesif strategis, RI-RRT perlu untuk memperkuat kerjasama bidang ekonomi, perdagangan, dan investasi, khususnya untuk mensinergikan program utama konektivitas maritim Indonesia dengan program 21st Century Maritime Silk Road atau Jalur Sutra Maritim Tiongkok.

Pada saat Presiden Tiongkok Xi Jinping berkunjung ke Indonesia Oktober 2013, Xi Jinping mengenalkan pertama kali New 21st Century Maritime Silk Road secara global. Hanya satu bulan setelah mengumumkan New Belt Silk Road saat ia melakukan kunjungan ke Kazakhstan.

Bukan tanpa sebab mengapa Indonesia dipilih pertama kali dalam melontarkan gagasan ini. Indonesia dipandang sebagai negara yang sangat strategis baik secara geopolitik maupun geoekonomi di kawasan. Karena inisiatif strategis ini untuk meningkatkan investasi dan kolaborasi dengan seluruh negara yang berkepentingan dengan peningkatan jalur laut. Dan  menawarkan program proyek-proyek infrastruktur utama untuk negara-negara berkembang di dunia.

Dalam beberapa hal, Tiongkok sangat membutuhkan Indonesia untuk meningkatkan keamanan pasokan energi dan Indonesia sebagai pasar yang sangat potensial dengan penduduk sekitar 247 juta orang. Posisi geografis Indonesia yang dilalui selat Malaka, Sunda dan Lombok menjadi jalur utama perdagangan dan keamanan pasokan energi Tiongkok dari arah Timur Tengah dan sebaliknya.

80 persen impor minyak Tiongkok melewati selat ini. Tiongkok juga melihat, Indonesia merupakan roda penggerak penting dalam integrasi ekonomi Tiongkok dengan Asia Tenggara. Dengan konektivitas lebih besar dari sisi transportasi, perdagangan, pariwisata dan people-to-people. Sehingga, Tiongkok sangat berkepentingan dengan Indonesia.

Pada penutupan Konferensi Tahunan Kongres Rakyat Nasional (NPC), badan legislatif tertinggi Tiongkok, dan Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok (CPPCC), badan penasehat politik tertinggi Tiongkok, 15 Maret lalu di Beijing. Menlu Tiongkok, Wang Yi menyatakan “Diplomasi Tiongkok pada 2015 ini akan memfokuskan pada inisiatif One Belt, One Road (yi lu yi dai)”. Realisasi proyek tersebut akan dimulai tahun 2015 ini selama satu dekade kedepan bersama negara-negara berkembang di sekitarnya. Dana investasi yang disiapkan sebesar USD 40 miliar untuk program tersebut.

One Belt One Road atau dikenal juga dengan adalah rencana pembangunan ekonomi yang fokus pada peningkatan perdagangan, infrastruktur, dan konektifitas di kawasan. Dari Eropa melintasi Asia Tengah dan Barat, sementara disisi selatan menghubungkan dengan Asia Tenggara, Afrika dan Eropa.

Sudah lebih dari 30 negara yang tertarik bergabung dengan gagasan Tiongkok ini termasuk Indonesia. Dengan pola melakukan kerja sama perdagangan bebas, pembangunan infrastruktur, pertukaran budaya, dan lainnya dengan negara-negara yang berada di sepanjang jalur tersebut yang akan menghubungkan pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok bagian tenggara dengan negara-negara ASEAN melalui Selat Malaka.

Sementara, di Asia Tengah melalui Samudra Hindia dan negara-negara di Timur Tengah hingga Eropa selatan melalui Laut Merah dan Laut Mediterania, yang akhirnya bertemu dengan jalan sutra darat di Eropa Tengah. Tiongkok sangat berkepentingan Jalur Sutra Baru Abad 21 ini terealisasi khususnya di jalur Asia Tenggara.

Di Indonesia, Jalur Sutra Maritim Tiongkok akan melewati Selat Sunda yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera serta menghubungkan Samudera Hindia dan Laut Jawa, dan Selat Karimata diantara Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera yang juga menghubungkan Laut Jawa dan Laut Tiongkok Selatan.

Dalam catatan historis, Jalur Sutra adalah lintasan jalur darat yang menghubungkan timur dan barat Asia, dari Xi’an di Tiongkok hingga ke Konstatinopel Turki. Para pengelana, pedagang, biarawan sampai para nomaden memanfaatkan jalur ini sehingga menjadi cikal bakal perdagangan modern. Istilah jalur sutra populer karena pedagang Tiongkok banyak membawa sutra sebagai komoditasnya. Jalur Sutra berkembang melintasi samudra hingga menuju Laut Hitam, Laut Marmara Balkan sampai ke Venesia.

Sementara di rute selatan, jalur sutra berkembang melewati Turkestan, Khorasan, Mesopotamia, Antiokia terus ke Mesir dan Afrika. ke arah selatan, pedagang Tiongkok melintasi Laut Tiongkok Selatan, sampai Semenanjung Malaya, melintasi Selat Malaka dan Selat Sunda, kemudian menyeberangi Samudra Hindia. Selama ratusan tahun, jalur ini menjadi mata rantai perdagangan Tiongkok.

Sebagai negara dengan 17.504 pulau, panjang pantai 104.000 km dan luas luas laut 5,8 juta. Presiden Jokowi yang menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia sebagai visi pembangunan selama lima tahun kedepan sejalan dengan rencana pemimpin Tiongkok, Xi Jinping, membangun Jalan Sutra Maritim Baru.

Jalan Sutra Maritim jauh lebih krusial dan bernilai ekonomis ketimbang Sabuk Sutra di bagian utara Tiongkok yang terhubung melalui jalur kereta api. Untuk mewujudkan ide tersebut Tiongkok membangun sebuah institusi keuangan global baru bernama Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB). Institusi itu akan menjadi kreditor untuk pembangunan infrastruktur di kawasan, bahkan global.

Dengan aset USD 50 miliar dan akan ditingkatkan menjadi USD 100 miliar, tujuan dan arah pembentukan AIIB menjadi alternatif rezim keuangan lama seperti Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Dunia, dan Dana Moneter Internasional, yang didominasi AS dan Jepang.

Bagi Indonesia, tawaran kerja sama pembangunan infrastruktur Ini masih menimbulkan pro dan kontra. Ibarat koin mata uang, satu sisi akan mempercepat upaya Jokowi mewujudkan poros maritim. Di sisi lain, ada kekhawatiran dampak negatif yang mungkin timbul. Karena tujuan poros maritim Jokowi secara strategis lebih didasarkan pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur pelabuhan dan infrastruktur pendukungnya.

Kunjungan Presiden Jokowi ke RRT akhir Maret lalu, yang kedua kali dalam kurang dari enam bulan, menekankan persoalan strategis terkait antara Jalan Sutra Maritim dengan konsep poros maritim dunia. Dan persoalan ini juga menyangkut masalah krusial di Laut Tiongkok Selatan.

Untuk itu, Tiongkok berkomitmen kerja sama USD 68,1 miliar ditambah dengan komitmen dalam mata uang yuan sebesar 2,1 miliar RMB atau setara USD 340 juta. Total komitmen yang dibawa pulang dari Tiongkok mencapai USD  68,44 miliar.

Walaupun dalam investment rate jika dibandingkan dengan Jepang, terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Rekam jejak Tiongkok selama ini hanya 1:10 sedangkan Jepang 1:6,5 yang artinya untuk di Tiongkok dari 10 komitmen hanya 1 yang terealisasi sementara dari Jepang lebih tinggi yakni dari 10 komitmen sebanyak 6,5 terealisasi.

Konvergensi dari dua visi maritim ini, Tiongkok yang ingin mengkoneksikan jalur maritim global dan Indonesia ingin mengkoneksikan dan meratakan pembangunan antar pulau, menjadi titik poin yang menarik bagi hubungan kedua negara yang menginjak 65 tahun ini. Tentunya, banyak tantangan dan hambatan khususnya bagi Indonesia agar ide tersebut bisa terealisasi secepatnya dan sekaligus bisa tetap menjaga keharmonisan hubungan kedua negara dengan saling menghormati dan saling menguntungkan.

*Mahasiswa Magister Hubungan Internasional Nanchang University, Nanchang, Tiongkok

Tautan: http://www.koran-jakarta.com/?30129-jalur%20sutera%20dan%20poros%20maritim

SM, REFLEKSI INDO-TIONGKOKRefleksi Hubungan Indonesia-Tiongkok

Oleh: Ahmad Syaifuddin Zuhri

Harian Suara Merdeka, 13 April 2015

Pada 13 April ini tepat 65 tahun hubungan Indonesia-Tiongkok. Kedua negara mulai menjalin hubungan diplomatik pada 13 April 1950. Periode awal hubungan bilateral kedua  negara  terjadi  pada  rentang  waktu tahun 1950-1967. Indonesia tercatat sebagai negara  pertama yang mengakui  berdirinya Tiongkok baru dibawah pemerintahan komunis. Tahun  1953,  Indonesia  mengirim Arnold  Manonutu  sebagai  Duta  Besar Indonesia  pertama  untuk  Beijing,  yang diikuti  dengan  penandatanganan  nota kerjasama  Indonesia  dan  Tiongkok.

Hubungan kedua negara bertambah erat setelah Indonesia menyelenggarakan KAA 18 April – 24 April 1955 di Bandung, yang hasil deklarasinya membawa semangat dan inspirasi bagi negeri-negeri terjajah di Asia dan Afrika.

Pada 30 September 1956, Presiden Indonesia Soekarno mengunjungi Tiongkok.  Di  awal tahun  1960  tercipta  poros  Jakarta-Peking yang  berkembang  menjadi  poros  Jakarta-Peking-Pyongyang. Serangkaian  peristiwa tersebut sekaligus menjadi penanda keeratan hubungan  kedua  negara. Pada 1 April 1961, Tiongkok dan Indonesia menandatangani perjanjian persahabatan dan persetujuan kerja sama kebudayaan bilateral.

Hubungan kedua negara dihentikan sementara tanggal 30 Oktober 1967 karena terjadi peristiwa Gerakan 30 September  (G30S/PKI) 1965, pemerintah Tiongkok dicurigai terlibat atas gerakan tersebut. Pada Oktober  1967  dibawah  pemerintahan Soeharto,  Indonesia  melakukan  pembekuan hubungan  bilateral  serta  hubungan  dagang dengan  Tiongkok.  Pasca  naiknya  Deng Xiaoping  sebagai  pemimpin  baru  Tiongkok, maka di tahun 1980an normalisasi hubungan Jakarta–Beijing  mulai  disuarakan.  Namun keinginan  tersebut  ditentang  oleh  berbagai kalangan,  terutama  Soeharto,  Departemen Pertahanan  Keamanan dan ABRI waktu itu.

Hubungan bilateral kembali pulih sejak 1980-an. Salah satu upaya presiden Soeharto untuk  menggalakkan  ekspor  non migas  yang  tidak  hanya  memasuki  pasar Jepang  dan  Barat. Tiongkok dianggap sebagai negara  dengan  populasi  terpadat  yang juga memiliki  potensi  pasar  yang  besar  bagi produk Indonesia. Dari situ pada Juli 1985, Tiongkok dan Indonesia menandatangani “Memorandum Saling Pengertian (MoU)” untuk membuka kembali perdagangan langsung kedua negara yang terputus.

Menteri Luar Negeri Tiongkok Qian Qichen bertemu Presiden Soeharto dan Menteri Dalam Negeri Moerdiono tahun 1989 untuk mendiskusikan kelanjutan hubungan diplomatik kedua negara. Pada bulan Desember 1989, kedua negara membicarakan masalah teknis mengenai normalisasi hubungan bilateral dan menandatangani perjanjian. Menlu Ali Alatas menerima undangan Tiongkok pada Juli 1990 dan mereka membicarakan perjanjan penyelesaian obligasi utang Indonesia ke Tiongkok dan komunike kelanjutan hubungan diplomatik antar kedua negara. Kedua negara meresmikan “Komunike Restorasi Hubungan Diplomatik Antar Kedua Negara”.

Pada 6 Agustus 1990, Perdana Menteri Tiongkok, Li Peng, menerima undangan Indonesia. Dalam diskusinya dengan Presiden Soeharto, kedua pihak mengekspresikan keinginannya untuk meningkatkan hubungan antar kedua negara atas dasar Pancasila dan Dasasila Bandung. Tanggal 8 Agustus, Menlu Tiongkok dan Indonesia atas nama pemerintah negaranya masing-masing menandatangani nota kesepahaman mengenai kelanjutan hubungan diplomatik. Kedua pihak menyatakan secara resmi melanjutkan hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Indonesia pada hari itu.

Di  masa  pemerintahan  Presiden Abdurrahman  Wahid  (Gus  Dur)  merupakan saat  dimana  Tiongkok  mendapat  kedudukan istimewa  dalam  politik  luar  negeri Indonesia.  Gus Dur menjadikan Tiongkok sebagai negara pertama yang dikunjunginya. Peningkatan hubungan  diplomatik  Indonesia  dan  Tiongkok berkembang  pesat. Di  masa pemerintahan  Presiden  Megawati Soekarnoputri,  kerjasama  antara  Indonesia dan  Tiongkok  terus  berkembang  dengan ditandatanganinya MoU untuk pembentukan forum  energi  kedua  negara  tepatnya  pada tanggal  24  Maret  2002.  Melalui  kerjasama tersebut  menjadi  payung  investasi  Tiongkok  di Indonesia dalam bidang energi.

Dalam kunjungan kenegaraan Presiden Hu Jintao ke Indonesia tahun 2005, bersama dengan Presiden Yudhoyono, menandatangani deklarasi Kemitraan Strategis, di mana kedua negara sepakat untuk mengembangkan kerjasama strategis jangka panjang berlandaskan pada kepentingan dan aspirasi bersama dan saling menghormati perbedaan. Hubungan bilateral meningkat ke level paling tinggi menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif pada Oktober 2013 yang ditanda tangani oleh Presiden Xi Jinping dan Presiden SBY di Jakarta.

Deklarasi kemitraan strategis ini adalah salah satu titik penting dalam hubungan kedua negara. Indonesia mendukung Kebijakan Satu Tiongkok, dan Tiongkok juga menghormati kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia. Hubungan kedua negara semakin erat ditandai oleh kunjungan Presiden Joko Widodo ke Tiongkok selama dua kali yakni pada November 2014 lalu bertepatan dengan APEC dan 26-28 Maret lalu. Tiongkok menjadi salah satu prioritas kebijakan luar negeri Jokowi saat ini terutama kerjasama pembangunan infrastruktur untuk menopang visi pembangunan poros maritim dunia. Pada kunjungan itu, Presiden Joko Widodo dengan Presiden RRT Xi Jinping, menandatangani delapan nota kesepahaman antara Indonesia-Tiongkok.

Dari kedekatan hubungan kedua negara yang semakin erat, setidaknya bagi Indonesia bisa menarik banyak pelajaran dari kemajuan Tiongkok dalam segala bidang. Misalnya dalam hal ekonomi, bagaimana pemerintah Tiongkok dengan banyaknya investasi asing masuk akan tetapi negara tetap punya kontrol yang kuat dan tanpa mengesampingkan kepentingan rakyatnya. hal lainnya adalah ketegasan penegakan hukum terutama dalam pemberantasan korupsi, walaupun pemerintahan dikendalikan oleh satu partai tetapi kemauan kuat mereka akan pemberantasan korupsi sangat kuat.

Diluar itu, hubungan kedua negara juga bukan berarti tanpa tantangan, hubungan kedua negara sempat mengalami gejolak dan menghadapi permasalahan yang disebabkan oleh sejarah masa lalu, kesalahpahaman, dan kurangnya informasi. Rizal Sukma, Direktur Eksekutif CSIS, menyatakan bahwa masalah memori masa lalu dan kekosongan yang terjadi akibat pemutusan hubungan diplomatik pada era ’60an adalah faktor penghambat bertumbuhnya hubungan kedua negara. Banyak orang Tiongkok yang masih menganggap bahwa Indonesia adalah negara yang anti Tionghoa, sehingga sekarang adalah kewajiban kedua negara untuk meluruskan persepsi ini.

Tantangan lainnya antara lain terkait dengan konflik di Laut China Selatan (LCS) yang walaupun tidak atau belum bersentuhan langsung dengan Indonesia, paling tidak Indonesia harus terlibat secara aktif dan waspada. Apalagi saat ini Tiongkok sedang mulai membangun Jalur Sutra Maritim yang peta jalur utamanya melewati LCS dan selat Malaka. Selain itu, komitmen dari banyaknya nota kerjasama yang ditanda tangani juga menjadi tantangan untuk bisa direalisasikan. Dan setelah berjalan 65 tahun, hubungan kedua negara ini harus dikuatkan terutama hubungan antar warga atau People-to-People contact. Karena ini adalah modal dan basis hubungan kedua negara yang bersifat jangka panjang. Dari basis penguatan hubungan inilah diharapkan menjadi penguat dari berbagai sisi dalam hubungan kedua negara seperti pendidikan, sosial budaya, ekonomi dan politik.

*Alumnus Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, mahasiswa Pascasarjana Program Hubungan Internasional, Nanchang University, Tiongkok

Tips Cari & Daftar Beasiswa ke China

Oleh: Ahmad Syaifuddin Zuhri

Dimuat di www.okezone.com, 9 Maret 2015

CARILAH ilmu sampai ke negeri China.” Ungkapan yang sangat popular untuk selalu mencari ilmu, di mana pun jauhnya. Bahkan, merantau ke China sekarang menjadi salah satu primadona pelajar Indonesia dalam menuntut ilmu.

Berdasar data Atase Pendidikan di KBRI Beijing, hingga Juli 2013 ada 13.144 pelajar dan mahasiswa Indonesia di China. Mereka terdaftar sebagai pelajar sekolah menengah hingga mahasiswa doktoral. Jumlah ini pun mengalami peningkatan cukup signifikan setiap tahun.

Sebagian pelajar Indonesia di China menempuh kuliah dengan beasiswa. Setiap tahun, pemerintah China mengalokasikan dana beasiswa bagi pelajar internasional melalui lembaga China Scholarship Council (CSC). Sepuluh negara ASEAN mendapat kuota sekira 1.000 penerima beasiswa setiap tahunnya.

Pendaftaran program beasiswa dari CSC ini dibuka pada Januari hingga awal April. Peminat bisa mengakses informasi beasiswa di situs resmi CSC: http://www.csc.edu.cn/laihua/scholarshipdetailen.aspx?cid=97&id=2070.

CSC memberikan beasiswa penuh dan parsial dari pemerintah pusat ataupun pemerintah provinsi. Mayoritas beasiswa ini diberikan untuk level S-2 (usia maksimal 35 tahun) dan S-3 (maksimal 40 tahun). Beasiswa penuh untuk S-2 diberikan selama maksimal tiga tahun, dan pada program S-3 maksimal selama empat tahun. Penerimanya akan mendapatkan biaya kuliah, biaya hidup, akomodasi dan asuransi.

Sementara itu, beasiswa untuk khusus belajar bahasa dan budaya Mandarin, disediakan oleh lembaga Confucius Institute atau Hanban Institute. Durasi program bisa dipilih, selama enam bulan, satu tahun atau hingga jenjang S-2.

Pilihlah jenis beasiswa China Government Scholarship-Chinese Universities Program. Beasiswa pascasarjana ini merupakan hasil kerjasama CSC dengan 279 perguruan tinggi.

Belajar di China tidak ada syarat TOEFL, karena perkuliahan mayoritas memakai bahasa Mandarin. Namun, mahasiswa akan diwajibkan ikut kelas bahasa Mandarin selama satu tahun pertama. Dan apabila masih belum lolos ujian Hanyu Shuiping Kaoshi (HSK) – sejenis TOEFL dalam Mandarin level 4-5, maka bisa menambah kelas Mandarin di tahun berikutnya. Setelah itu baru masuk kuliah di disiplin ilmu masing-masing.

Lalu bagaimana cara dan tipsnya agar kita mudah lolos?

Cara apply

Ada dua jalur untuk bisa diterima beasiswa yakni melalui daftar langsung ke universitas atau melalui Kedutaan China di Jakarta. Pendaftar mendaftar antara Januari hingga awal April ke universitas yang dituju. Ada 279 kampus di China yang menerima mahasiswa asing melalui jalur ini, data bisa dilihat di tautan berikut: http://www.csc.edu.cn/laihua/upload/file/20150210/20150210091700_9704.pdf.

CSC tidak menerima pendaftar secara individual, semua harus melewati universitas tujuan. Pendaftar bisa konsultasi ke universitas tujuan tentang prosedur, nomer agensi dan instruksi dalam mengisi aplikasi dari CSC.

Cara memilih kampus

Biasanya pemilihan universitas akan didasarkan pada kualitas dan letak geografisnya. Carilah universitas yang menyediakan jurusan yang diinginkan dengan kualitas terbaik. Pilihan ini tentu menimbulkan konsekuensi persaingan masuk yang lebih ketat. Peluang cukup besar saat ini ada di perguruan tinggi di luar kota besar seperti Beijing, Shanghai dan Guangzhou karena peminatnya relatif lebih sedikit.

Cari kontak bagian penerimaan di kampus tujuan. Kemudian kirimkan email ke bagian penerimaan mahasiswa tersebut dengan informasi antara lain: penjelasan bahwa kamu mau sekolah di sana melalui jalur CSC, bisa juga ceritakan sedikit tentang berbagai kemampuan yang kamu miliki untuk menarik perhatian pihak penerimaan kampus. Jangan lupa memberi penilaian positif tentang universitas tujuan supaya lebih mudah diterima. Buat email ini dengan simpel saja. Lalu, sertakan di lampiran semua dokumen yang dibutuhkah oleh CSC.

Dokumen aplikasi yang harus disiapkan:

  1. Formulir aplikasi dari CSC ditulis dalam bahasa Inggris atau Mandarin. Pastikan sudah mendaftar online di situs resmi CSC terlebih dahulu dan diunduh untuk dicetak;
  2. Fotokopi ijazah dan transkrip akademik terakhir yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan dilegalisasi resmi;
  3. Rencana studi atau proposal riset dalam Inggris atau Mandarin minimum 800 kata;
  4. Dua surat rekomendasi dari doktor atau guru besar dalam bahasa Inggris atau Mandarin;
  5. Rekaman CD hasil karya (khusus untuk jurusan seni);
  6. Fotokopi Foreigner Physical Examination Form (General Check Up), unduh form resmi dari situs CSC, semua item harus diisi dan distempel oleh tenaga medis dari rumah sakit negeri;
  7. Sertifikat valid HSK (jika ada); dan
  8. Fotokopi paspor.

Semua berkas disatukan dengan klip kertas di kiri atas dan masukkan dalam satu amplop. Berkas yang dikirim harus terdiri dari dua set dan dikirim ke universitas tujuan sebelum tenggat waktu pendaftaran yaitu sekitar akhir April.

Langkah setelah diterima

Setelah berkas semua disiapkan, pendaftar dapat mengunjungi situs resmi kampus tujuan untuk mempelajari syarat umum dan khusus pendaftaran. Kemudian, mengunduh berkas pendaftaran untuk diisi.

Pendaftaran biasanya dimulai pada Maret hingga Mei setiap tahun. Setelah mendaftar, hubungi pihak kampus untuk memastikan apakah dokumen dikirim lewat pos atau bisa lewat email. Pihak kampus akan memproses semua dokumen pendaftaran yang masuk dan biasanya mengumumkan pendaftar yang diterima pada Juni.

Setelah diterima, yakni pada Juli-Agustus, pendaftar akan diberi berkas Visa Application for Study in China (JW202) dan Admission Notice dari kampus. Berkas tersebut dipakai untuk mengurus visa pendidikan (X Visa) di Kedutaan China di Jakarta atau Konsulat China di Medan, Surabaya dan Bali. Lampiran Berkas Aplikasi visa (JW202) dan Admission Notice ketika mengurus visa harus asli.

Jangan lupa memindai (scan) semua berkas persyaratan yang dipakai sebagai salinan pribadi dan antisipasi jika ada hal yang tidak diinginkan. Setelah urusan visa selesai, cari sebanyak mungkin informasi tentang kampus dan negara tujuan dan apakah ada mahasiswa Indonesia yang terdapat di kampus tersebut sebelum berangkat.

Perkuliahan dimulai di awal September. Tetapi, usahakan tiba di kampus tujuan minimal seminggu sebelum kuliah dimulai. Dengan begitu kamu punya cukup waktu untuk beradaptasi dan mengurus segala macam keperluan sebelum masa perkuliahan.

Ahmad Syaifuddin Zuhri

Mahasiswa S2 Program Beasiswa CSC Jurusan Hubungan Internasional Nanchang University, China

Tautan: http://news.okezone.com/read/2015/03/09/65/1115641/tips-cari-daftar-beasiswa-ke-china

Mengapa Pilih Kuliah di Luar Negeri?

Liputan lima tulisan oleh jurnalis Rachmad Faisal Harahap (situs berita okezone.com) mewawancarai pemilik blog. 

http://www.okezone.com, 3 Maret 2015 

JAKARTA – Kuliah di luar negeri kian menjadi pilihan, terutama karena banyak pelajar ingin mendapat dasar pendidikan internasional sebagai bekal menghadapi persaingan global. Alasan pelajar Indonesia berkuliah di luar negeri pun beragam.

Ahmad Syaifuddin Zuhri memilih kuliah di negeri asing karena mendapat tawaran beasiswa dari Kedutaan Besar (Kedubes) China di Jakarta dan sebuah lembaga keagamaan di Semarang. Ahmad kini kuliah di Nanchang University, China.

“Kami menerima beasiswa ini sesuai pilihan studi masing-masing. Satu rombongan kami dari Jawa Tengah ada sembilan orang yang berlatar belakang remaja masjid dan pesantren di Jawa Tengah,” ujar Ahmad, saat dihubungi Okezone, belum lama ini.

Mahasiswa master jurusan hubungan internasional itu melanjutkan, dia berangkat pada September 2011 dan akan menyelesaikan masa studi pada Juli 2015. Teman-teman satu rombongan Ahmad juga sedang menempuh studi S-2 pada berbagai disiplin ilmu seperti jurnalistik, ekonomi, teknologi informasi (TI), perikanan, kajian agama, matematika, dan hubungan internasional (HI).

“Tahun pertama di China wajib ikut kelas bahasa mandarin selama satu tahun, setelah itu baru mengambil S-2 pada 2012. Jadi, total empat tahun. Belajar bahasa mandarin satu tahun dan menempuh studi S-2 selama tiga tahun,” ucapnya.

Kuliah di Luar Negeri Cuma Modal Ujung Jari

Jum’at, 6 Maret 2015

JAKARTA – Zaman sekarang serba canggih dan mudah. Urusan daftar kuliah di luar negeri pun enggak ribet, cukup klik mouse dengan ujung jari. Beres.

Soal diterima atau enggak, tentu urusan belakangan. Tetapi, kemudahan mendaftar ke kampus di belahan dunia lain ini membuat kuliah di luar negeri makin diminati pelajar Indonesia.

Ahmad Syaifuddin Zuhri, misalnya, enggak merasa kesulitan saat mendaftar untuk kuliah di Nanchang University, China. Tentu saja, Ahmad harus mempersiapkan semua berkas pendaftaran agar dapat diunggah di sistem pendaftaran online. Dia juga mendaftar secara online untuk program beasiswa yang diberikan pemerintah Negeri Tirai Bambu melalui China Scholarship Council.

“Jadi, kami datang ke kampus sudah tinggal registrasi ulang dan langsung kuliah,” ujar Ahmad, saat dihubungi Okezone, belum lama ini.

Kemudahan lain saat melanjutkan studi di luar negeri, kata Ahmad, adalah, semua biaya keperluan kuliah sudah ditanggung kampus. Beasiswa yang diterimanya memang membebaskan Ahmad dari tuition fee, registration fee, uang sewa asrama dan biaya hidup bulanan.

“Biaya hidup setiap bulan langsung diberikan ke rekening bank yang bekerjasama dengan kampus,” imbuh Dewan Pembina Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok 2014-2015 itu.

Cermat Pilih Kampus & Negara Tujuan Studi

Minggu, 8 Maret 2015

JAKARTA – Saat memutuskan kuliah di luar negeri, calon mahasiswa akan memilih negara dan kampus tujuan secermat mungkin. Biasanya, apa sih alasan pertimbangan utama pemilihan kampus dan negara tujuan studi?

Ahmad Syaifuddin Zuhri memilih China sebagai tempat mencari ilmu karena saat ini China menjadi salah satu kekuatan ekonomi besar dunia dan pertumbuhannya sangat cepat di segala lini. Saat ini, Ahmad kuliah pascasarjana di Nanchang University, China.

“Selain itu, sesama negara di Asia, budayanya hampir sama dan pendidikan juga relatif terjangkau dengan fasilitas yang hampir sama dengan negara maju,” ujar Ahmad.

Mahasiswa master jurusan hubungan internasional itu memilih Nanchang University selain karena mendapat beasiswa dari China Government Scholarship (CSC). Status Nanchang sebagai ibukota dari Provinsi Jiangxi dan termasuk kota yang nyaman, aman dengan biaya hidup yang relatif terjangkau jika dibandingkan dengan kota besar lainnya di China juga jadi pertimbangan.

“Nanchang University juga masuk dari pemerintah China dalam ‘Project 211’, yakni 200 kampus besar yang disiapkan menjadi kampus berskala global di abad ke-21,” ucap Dewan Pembina Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok 2014-2015 itu.

Tips Mendaftar Kuliah di Luar Negeri

Proses pendaftaran kuliah ke kampus luar negeri memiliki standarnya masing-masing. Ada banyak aturan dan detail yang harus diikuti.

Jangan sampai proses pendaftaran tersebut salah. Karena jika salah sedikit, bisa jadi berkas-berkas pendaftaran akan ditolak oleh kampus tujuan.

Menurut mahasiswa Nanchang University, China, Ahmad Syaifuddin Zuhri, yang harus dilakukan pendaftar saat menjalani proses pendaftaran kuliah di luar negeri yaitu memastikan berkas-berkas pendaftaran sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dilegalisasi seperti ijazah dan transkrip nilai.

“Setelah semua berkas disiapkan, calon mahasiswa dapat mengunjungi situs resmi kampus yang dituju untuk mempelajari syarat umum dan khusus dari kampus tersebut, serta mengunduh berkas pendaftaran untuk diisi,” ujar Ahmad, saat dihubungi Okezone, belum lama ini.

Mahasiswa master jurusan hubungan internasional itu melanjutkan, pendaftaran kuliah di China biasanya dimulai pada Maret hingga Mei setiap tahunnya. Kita juga bisa memastikan ke kampus apakah dokumen pendaftaran dikirim lewat pos atau bisa lewat email. Biasanya, kata Ahmad, jika diterima di kampus tujuan, calon mahasiswa akan mendapatkan letter of acceptance (LoA) dan berkas aplikasi visa pelajar.

“Setelah urusan visa selesai, cari sebanyak mungkin informasi tentang kampus dan negara tujuan, serta apakah ada mahasiswa Indonesia yang terdapat di kampus tersebut sebelum berangkat,” tuturnya.

Dewan Pembina Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok 2014-2015 itu menambahkan, perkuliahan secara regular akan dimulai pada awal September. Usahakan minimal seminggu sebelum kuliah dimulai sudah sampai di kampus tujuan.

“Jadi ada waktu untuk beradaptasi dan mengurus segala macam sebelum kuliah,” pesannya.

Sulit Adaptasi Saat Kuliah di Negara Empat Musim

Negara empat musim umumnya membuat mahasiswa Indonesia kesulitan beradaptasi. Maklum, mereka terbiasa dengan iklim tropis.

Kendala cuaca juga dialami Ahmad Syaifuddin Zuhri. Mahasiswa Nanchang University, China ini paling kesulitan dalam beradaptasi dengan empat musim cuaca, khususnya musim dingin dengan suhu udara bisa mencapai di bawah nol derajat celcius.

“Disiasati harus sering makan, mengoles kulit dengan losion agar tidak kering dan berjaket tebal baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan,” kata Ahmad.

Seperti halnya Ryvo, mahasiswa S-2 jurusan hubungan internasional itu tidak terlalu bermasalah dengan hal lain. Alasannya, dia sudah terbiasa hidup mandiri di perantauan sejak menjalani masa SMP di pesantren hingga kuliah S-1 di Semarang.

“Untuk makan setiap hari masak sendiri di asrama, kadang juga makan di kantin halal yang terdapat di kampus. Hampir setiap kampus di China memiliki kantin halal yang dikelola oleh suku Hui Muslim China, untuk di kampus saya ada sekira lima kantin halal,” imbuh Dewan Pembina Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok 2014-2015 itu.

(rfa/okezone.com)

Tautan berita:

http://news.okezone.com/read/2015/03/03/65/1112970/mengapa-pilih-kuliah-di-luar-negeri

http://news.okezone.com/read/2015/03/06/65/1114778/kuliah-di-luar-negeri-cuma-modal-ujung-jari

http://news.okezone.com/read/2015/03/08/65/1115292/cermat-pilih-kampus-negara-tujuan-studi

http://news.okezone.com/read/2015/03/08/65/1115293/tips-mendaftar-kuliah-di-luar-negeri

http://news.okezone.com/read/2015/03/08/65/1115296/sulit-adaptasi-saat-kuliah-di-negara-empat-musim

Solopos, 7-3-2015Relasi Tradisi Tionghoa dan Diaspora di Dunia

Oleh: Ahmad Syaifuddin Zuhri

Harian SOLOPOS, 7 Maret 2015

Setelah Hari Raya Imlek atau Chun Jie pada 19 Februari lalu. Masyarakat Tiongkok menjalani tradisi selanjutya sebagai penutup: Lantern Festival (Mandarin: Yuanxiao Jie) atau di Indonesia lebih dikenal dengan Cap Go Meh yang jatuh pada 5 Maret lalu. Yakni tradisi 15 hari setelah hari Raya Imlek. Sambil berkumpul dengan keluarga melihat dan meletakkan lampion-lampion merah yang ditaruh didepan rumah, jalanan atau diterbangkan sambil makan makanan sejenis wedang ronde.

Kedua tradisi khas Tiongkok tersebut menjadi agenda yang sangat sakral dan penting bagi warga Tionghoa. Tidak hanya di dalam negeri, akan tetapi juga etnis Tionghoa yang tersebar diseluruh dunia.

Demi merayakannya, jutaan masyarakat Tiongkok mudik ke kampung halaman untuk merayakan bersama dengan orangtua dan sanak famili.

Fenomena mudik Imlek atau dikenal dengan Chun Yun di Tiongkok menjadi mudik terbesar di dunia. Diperkirakan ada sekitar 300 juta warga yang menjalaninya. Menghadapi besarnya angka mudik tersebut pemerintah dengan sangat serius membangun jaringan jalan tol dan rel kereta api. Dua tulang punggung infrastruktur transportasi di Tiongkok. Khususnya moda kereta api. Pemerintah membangun banyak jaringan rel baru dan kereta super cepat dengan daya dukung stasiun yang mampu menampung ratusan ribu orang tiap harinya. Fasilitasnya hampir setara dengan bandara internasional dan terdapat di tiap kota-kota besar.

Berdasar data resmi yang dirilis dari Kementrian Perhubungan. Selama sepekan libur Imlek lalu, operator penerbangan Tiongkok menerbangkan lebih dari 60.000 penerbangan, naik 7,8 persen dari tahun lalu. Dan sampai tanggal 24 Februari kemarin, menerbangkan lebih dari 1.35 juta penumpang,

Sementara China Railway Corp, operator kereta api negara itu, mengatakan, menangani enam juta perjalanan pada hari Rabu di pekan terakhir Februari lalu. China Railway Corp memperkirakan bahwa sekitar 289 juta perjalanan akan dilakukan selama 40 hari Chunyun tahun ini, naik 26 juta dari periode tahun lalu. Meningkat rata-rata tujuh juta perjalanan dilakukan dengan kereta api setiap hari selama periode tersebut.

Perusahaan itu menjalankan 3.063 rangkaian gerbong kereta selama puncak perjalanan Imlek kemarin, meningkat 335 dari tahun lalu.

Tidak ada kenaikan harga tiket ataupun kemacetan parah seperti kita lihat di Indonesia ketika musim mudik Lebaran tiba. Semua harga tiket normal, bahkan harga tiket pesawat banyak promosi dan bisa hampir setengah dari harga normal.

Pemerintah Tiongkok benar-benar memfasilitasi warga yang akan mudik Imlek secara maksimal. Mereka sangat menyadari bahwa pelayanan prima adalah hal mutlak yang tidak bisa ditawar.

Tingginya urbanisasi dengan pertumbuhan kota-kota megapolitan menjadi fenomena yang benar-benar menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Walaupun pemerintah sudah berusaha meyeimbangkan pembangunan antara Tiongkok bagian timur dan barat. Tetapi, arus urbanisasi tetap tinggi di daerah timur seperti di Beijing, Shanghai, Guangzhou, Shenzhen dan lainnya.

Diaspora Tionghoa

Tidak hanya urbanisasi, Tiongkok juga menjadi penyumbang imigran terbesar di dunia. Dari data yang dirilis oleh International Immigration Organization (IMO) terdapat sekitar 200 juta imigran di dunia.  Imigran dari Tiongkok sekitar 39.5 juta orang yang tersebar di 130 negara. Imigran Asia, baik di domestik maupun internasional adalah terbesar di dunia. China dan India menyumbang angka sekitar 35% atau lebih dari 70 juta orang.

“Chinese Overseas” atau Tionghoa perantauan umumnya digunakan untuk merujuk etnis Tionghoa yang tinggal di luar China, Hong Kong, Taiwan dan Makau. Periode migrasi ini dapat ditelusuri kembali melalui sejarah, fenomena umumnya disebut sebagai “Chinese Diaspora” sejak pertengahan abad ke-19.

Hampir seluruh Negara di benua Eropa, Asia, Amerika, Afrika dan Oseania terdapat etnis Tionghoa yang tinggal atau menetap. Baik menjadi warga negara di negara tujuan maupun yang masih berstatus WN Tiongkok.

Di Eropa, diperkirakan ada sekitar 2.25 juta orang (2011), terbanyak tersebar di Inggris, Perancis dan Italia. Di Rusia, sekitar 300.000 (ECA,2008). Afrika, sekitar 1 juta (2012) yang tersebar di Afrika Selatan, Tanzania, Zambia, Ghana, Nigeria, Angola, Mauritius, Madagaskar dan Mauritius. Di Asia, paling banyak di Asia Tenggara sekitar 30 juta, tersebar paling banyak di Thailand disusul Malaysia, Indonesia, Singapura, Myanmar, Filipina dan Vietnam.

Di Amerika Utara, sekitar 4,5 juta, tersebar di Amerika Serikat dan Kanada. Amerika Tengah dan Selatan, sekitar  2,5 juta terbanyak di Peru, Venezuela, Brazil, Panama, Argentina, Kuba dan lainnya. Di Oseania, sekitar 1.134 juta tersebar di Australia, Selandia Baru dan beberapa Negara kepulauan di Pasifik.

Memengaruhi Perekonomian

Diaspora Tionghoa juga sangat mempengaruhi kemajuan pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Mereka banyak berkontribusi terhadap tanah leluhurnya. Diperkirakan, mereka mengkontrol asset likuid sekitar USD 1.5-2 miliar. Mereka juga sering mengirim remiten ke keluarga mereka di Tiongkok untuk membantu secara finansial dan sosio-ekonomi yang lebih baik.

Diaspora Tionghoa di dunia juga menjadi salah satu alat yang berpengaruh. Tak hanya untuk mempromosikan budaya Tiongkok, tetapi juga memfasilitasi untuk lobi bisnis, pertumbuhan ekonomi dan tujuan diplomatik. Jejaring komunitas pebisnis Diaspora Tionghoa di Asia Tenggara misalnya, mengembangkan jejaring yang biasa dikenal dengan “Bamboo Network” dan mempunyai pengaruh yang kuat terutama di sektor privat di kawasan ini.

Tak perlu heran bila jejaring Diaspora Tionghoa di dunia bagi pemerintah Tiongkok menjadi kekuatan utama dari luar yang membantu negara tersebut. Sehingga, disetiap level pemerintahan mulai dari tingkat Kota sampai Nasional di Tiongkok mempunyai kantor khusus yang menangani jejaring Diaspora yang biasa disebut dengan Waishi Bangongshi atau Foreign Affair Office.

Latar belakang tersebarnya Diaspora Tionghoa beragam. Jika pada abad 19-20 adalah mayoritas berlatar belakang mencari kesejahteraan ekonomi yang lebih baik. Maka, pada saat ini terbanyak disumbang oleh latar belakang pendidikan, seperti di Eropa dan Amerika. Sementara di benua Afrika, karena banyaknya investasi Tiongkok ditanamkan secara besar-besaran di benua tersebut.

Banyaknya imigran etnis Tionghoa yang tersebar tersebut juga memunculkan banyaknya pertumbuhan sentral etnis Tionghoa beraktifitas atau yang biasa disebut dengan China Town atau Pecinan di Negara-negara tujuan. Sehingga memunculkan banyak pengaruh asimilasi budaya di dunia.

Kekuatan jaringan Diaspora dan kecintaan akan tanah leluhurnya inilah yang menjadi salah satu penyebab Tiongkok saat ini menjadi negara yang tingkat kemajuannya paling pesat di dunia.

Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Hubungan Internasional Nanchang University, Jiangxi, Tiongkok.

Link : http://epaper.solopos.com/

SM,3-3-2015Keseriusan Tiongkok Perangi Korupsi

Ahmad Syaifuddin Zuhri

Harian Suara Merdeka, 3 Maret 2015

Pada 3 dan 5 Maret ini, Tiongkok akan menyelenggarakan Rapat Tahunan National People’s Congress (NPC) atau Kongres Rakyat Nasional, lembaga legislatif tingkat pusat dan China People’s Political Central Consultative Conference (CPPCC), lembaga penasehat politik pusat. Dua konferensi yang populer disebut “Dua Sesi”.

Konferensi tersebut akan membahas Undang-undang baru untuk disahkan, menghapus atau mengamandemen undang-undang lama. Membahas laporan tahunan tentang perkembangan pembangunan, anggaran serta rencana pembangunan oleh pemerintah, untuk direvisi atau diloloskan. Serta memberi saran terhadap pemerintah dan harus menanggapi secara tepat waktu.

NPC dan CPPCC memiliki cabang di tingkat lokal mulai dari provinsi, tingkat kota dan kabupaten. Di Tingkat lokal, Rapat Tahunan “Dua Sesi” tersebut dilakukan pada Januari dan Februari lalu. Rapat Tahunan dari level pusat dan lokal tersebut adalah konferensi yang sangat penting dalam sistem politik Tiongkok dan memiliki pengaruh langsung terhadap kehidupan dan sosial ekonomi di negara itu.

Konferensi tahunan tersebut juga akan dihadiri oleh Presiden Xi Jinping untuk menyampaikan pidato tahunan tentang perkembangan dan arah pembangunan yang akan dilakukan oleh pemerintah. Konferensi ini juga menjadi penanda Xi Jinping telah berkuasa memimpin Tiongkok selama dua tahun sejak 2013 lalu.

Sejak resmi menjabat menjadi Presiden sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok -Jabatan tertinggi di partai-, Xi Jinping gencar melakukan tindakan bersih-bersih terhadap pegawai negara dan petugas partai yang melakukan “kejahatan sangat serius yang melanggar hukum”, istilah untuk kejahatan berat korupsi di negara itu.

Melawan kejahatan korupsi adalah salah satu misi prioritas dalam pemerintahannya, diantara tiga prioritas misi lainnya, yang lebih dikenal dengan Empat Jalan Komprehensif: Komprehensif membangun masyarakat yang moderat dan sejahtera, Komprehensif menerapkan misi reformasi secara mendalam, Komprehensif menerapkan aturan hukum dan Komprehensif penguatan disiplin Partai.

Poin yang terakhir tersebut menjadi langkah pemerintah dalam memberantas pelanggaran korupsi pada pejabat negara dan Partai. Baik “Singa ataupun Lalat” akan ditindak dengan tindakan yang setimpal, penyebutan “Singa dan Lalat” adalah istilah populer korupsi untuk pejabat negara level tinggi dan terendah.

Lembaga pemberantas korupsi negara itu yakni Central Commision for Discipline Inspection (CCDI) merilis data selama tahun 2014 lalu, total 71.748 pejabat negara ditangkap dalam kasus korupsi, termasuk secara mengejutkan menangkap dua pejabat level tinggi negara, Zhou Yongkang, mantan anggota Komite Tetap Politbiro Pusat dan Xu Caihou, mantan wakil Komisi Militer Pusat.

Lembaga anti-korupsi tersebut mempunyai sekitar 1000 pegawai (Phoenix Weekly, 2014) dan 23 persen dari mereka adalah perempuan. CCDI meningkatkan divisi investigasi dari delapan menjadi 12 sejak Xi Jinping menjabat menjadi presiden. Dan menambahkan pula sekitar 100 penyidik guna perang melawan korupsi lebih maksimal.

Lembaga itu juga mendirikan delapan kantor permanen baru di pemerintahan pusat pada tahun ini untuk menguatkan pengawasan. Dari yang sebelumnya di tahun 2004 sebanyak 59 di lembaga pemerintah pusat.

Kantor-kantor tersebut akan menjadi markas pemburu koruptor yang fokus pada pejabat negara level tinggi. Akses ke rekening bank dan keuangan keluarga menjadi salah satu cara mereka mengawasi para pejabat negara. CCDI selain mengawasi pejabat Negara juga mengawasi para pejabat BUMN.

Pada Jumat (27/2) pekan lalu, Central Commission for Discipline Inspection (CCDI) mengeluarkan pernyataan resmi, setelah liburan Hari Raya Imlek ini telah menerjunkan tiga tim untuk menyelidiki tiga perusahaan BUMN yakni State Grid Corp of China, China Ship-building Industry Corp dan China Huaneng Group. Tiga BUMN dari 26 BUMN besar Tiongkok.

BUMN yang lain yang sudah menjadi target inspeksi adalah China National Petroleum Corp, China National Offshore Oil Corp, China Power Investment Corp dan China Mobile Communications Corp.

Wang Qishan, anggota Komite Tetap Politbiro Partai dan ketua CCDI, mengatakan bahwa CCDI akan fokus pada kampanye anti korupsi di BUMN-BUMN besar sebagai prioritas pada 2015 ini.

Selama dua tahun, 31 provinsi, daerah otonomi khusus, daerah administrasi khusus dan kota khusus, sudah diawasi penuh oleh CCDI dalam empat kali putaran inspeksi. Selama 2014, mereka sudah menjatuhkan hukuman pada lebih dari 70 eksekutif BUMN.

Karakteristik dari korupsi di BUMN adalah jual beli posisi, penggelapan sumber daya, pengaturan dalam penawaran proyek dan faksionalisme serta nepotisme.

Seperti kasus akhir tahun 2014 lalu, mantan eksekutif perusahaan milik negara di Provinsi Guangdong Tiongkok selatan dijatuhi hukuman mati atas tuduhan penyuapan dan penggelapan sebesar hampir 400 juta yuan (65 juta dolar AS). Selain hukuman mati, semua aset pribadi juga disita.

Tersangka, Zhang Xinhua, 52, adalah manajer umum BUMN Baiyun Industry and Agriculture Corporation di Kota Guangzhou. Penyelidikan pengadilan menunjukkan dari Juni 1998 sampai Mei 2013, Zhang mengambil 56.800.000 yuan dan HKD 7,3 juta. Pada tahun 2003, Zhang mendaftarkan dua perusahaan tanpa persetujuan dari atasannya, dan memindahkan properti dan tanah milik Baiyun Corp ke dua perusahaan dengan cara ilegal seperti fabrikasi utang.

Pengadilan juga menemukan bahwa pada tahun 2010 dan 2011, Zhang menerima HKD 35.290.000 dan 4,5 juta yuan suap dalam pertukaran untuk bantuan dalam restrukturisasi utang dan transaksi tanah yang melibatkan salah satu dari dua perusahaan yang disebutkan di atas dan sebuah perusahaan di kota Jiangmen, Provinsi Guangdong.

Terbaru, pada Sabtu (28/2) pekan lalu, pengadilan Tiongkok menjatuhkan hukuman penjara 17 tahun pada Ni Jia, mantan wakil gubernur Provinsi Anhui, yang terkenal dengan koleksi permata dan benda antik seninya. Ia dianggap merugikan negara sebanyak 1 juta yuan.

Perburuan melawan korupsi juga tidak hanya di dalam negeri, para koruptor yang lari ke luar negeri juga menjadi target yang sangat serius oleh pemerintah Tiongkok untuk ditangkap dengan membentuk tim yang dikenal dengan “Fox Hunt”. “Fox Hunt” menargetkan pejabat negara korup dan tersangka kejahatan ekonomi lainnya yang lari ke luar negeri. Mereka sudah menangkap 428 buronan negara yang telah lari ke luar negeri pada 2014 lalu. Buronan tersebut ditangkap di 60 negara dengan total kejahatan 10 juta yuan. “Fox Hunt 2014” menjadi simbol dari keseriusan Tiongkok dalam kampanye melawan kejahatan korupsi di level internasional

Upaya Tiongkok dalam memberantas korupsi di negara itu sangat serius, walau masih relatif banyak korupsi terjadi di berbagai level negara tersebut. Kampanye anti-korupsi oleh Xi Jinping sudah mulai masuk tahun ketiga, dan menunjukkan tidak ada tanda untuk santai apalagi berhenti untuk terus perang melawan korupsi.

Link: http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/keseriusan-tiongkok-perangi-korupsi/

Ahmad Syaifuddin Zuhri

Alumnus Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, mahasiswa Pascasarjana Program Hubungan Internasional, Nanchang University, Tiongkok