KTT ASEAN dan Visi Maritim Indonesia
Oleh: Ahmad Syaifuddin Zuhri
Harian SOLOPOS, 12 November 2014
KTT ASEAN ke-25 akan diselenggarakan pada 12-13 November ini di Myanmar, puncak pertemuan itu akan diikuti oleh seluruh pemimpin Negara anggota ASEAN termasuk presiden Joko Widodo yang mengikuti KTT ASEAN kali pertamanya setelah minggu lalu hadir di forum APEC di Beijing.
KTT ASEAN kali ini menjadi hal yang sangat penting karena tahun ini adalah setahun jelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) diterapkan pada tahun depan. Banyak isu-isu terkini yang melingkupi yang akan dibahas selain isu yang sudah ada sebelumnya terkait kesiapan anggotanya menghadapi MEA.
Isu terkini antara lain terkait dengan virus Ebola yang cenderung menjadi epidemik global serta bagaimana pencegahannya, dan yang menjadi isu yang tetap panas dan masih status quo adalah terkait dengan sengketa Laut China Selatan antara beberapa Negara ASEAN dan Tiongkok.
Isu ini juga menjadi ujian dan tantangan tersendiri bagi Indonesia, yang walaupun sampai saat ini Tiongkok tidak atau “belum” langsung berhadapan dengan Indonesia terkait sengketa di wilayah ini. Tetapi Indonesia juga harus tetap waspada, apalagi saat ini Indonesia dibawah pemerintahan baru Jokowi-JK mengangkat isu Poros Maritim dalam kebijakannya.
Apa tantangan bagi Indonesia dalam menguatkan doktrin Poros Maritim di ASEAN dan menghadapi konflik di Laut China Selatan?
Konflik di Laut China Selatan telah berlangsung sejak lama. Selain Vietnam, beberapa negara anggota ASEAN yang turut mengajukan klaim yang tumpang tindih yaitu Malaysia, Brunei dan Filipina.
Filipina bahkan telah mengajukan klaim tersebut ke pengadilan internasional. Bersama dengan Vietnam, kedua negara itu tegas menentang peta yang dibuat oleh Tiongkok menyangkut wilayah perairan yang mereka klaim.
Laut China Selatan merupakan kawasan laut yang terletak di kawasan Samudera Pasifik terbentang dari Singapura dan Selat Malaka di barat daya hingga Selat Taiwan di timur laut. Kawasan ini meliputi lebih dari 200 pulau kecil, bebatuan, dan karang yang sebagian besar berada di rangkaian kepulauan Paracel dan Spratly. Rangkaian kepulauan inilah yang seringkali diperebutkan sehingga menimbulkan ketegangan politik dari beberapa negara di sekitarnya.
Sebagai jalur perdagangan internasional yang sangat strategis. Laut China Selatan pada dasarnya merupakan no man’s island karena kawasan ini pada dasarnya tidak dimiliki oleh siapapun.
Berdasarkan Konvensi PBB dalam Hukum Laut (UNCLOS) yang telah diadopsi pada tahun 1982, setiap negara berhak untuk memasukkan wilayah hingga 12 mil laut sebagai bagian dari kedaulatannya dan 200 mil laut untuk Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).
Namun, salah satu pasal lain dalam UNCLOS yang berbunyi bahwa kawasan bebatuan yang tidak dapat menopang habitat manusia atau kehidupan ekonominya sendiri maka tidak memiliki zona eksklusif atau batas kontinen, seringkali menjadi alasan dari negara-negara yang melakukan klaim sepihak atas kepulauan Spartly dan atau wilayah Laut China Selatan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi.
Hingga saat ini, Brunei Darussalam mengklaim Louisa Reef dan Rifleman Bank yang merupakan kawasan terpisah dari kepulauan Spratly, Filipina mengklaim tidak kurang dari delapan buah pulau kecil (islet) yang merupakan bagian dari kepulauan Spratly, Malaysia mengklaim 12 pulau tersebar di Laut China Selatan, Taiwan mengklaim beberapa kelompok pulau utama di Laut China Selatan dan merupakan negara pertama yang menduduki kawasan kepulauan Spratly. Sedangkan Vietnam dan Tiongkok merupakan negara yang mengklaim paling banyak, Vietnam mengklaim seluruh kawasan Kepulauan Spratly dan Tiongkok mengklaim seluruh wilayah Laut China Selatan.
Di balik sengketa tersebut, Setidaknya ada beberapa alasan jika ditinjau dari geopolitik. Kawasan ini diperkirakan beberapa negara mengincar kandungan minyak bumi dan gas alam yang terbenam di area tersebut. Kantor berita Tiongkok, Xinhua melansir kawasan tersebut memiliki cadangan kandungan minyak sebanyak 30 miliar metrik ton dan 16 triliun meter kubik gas.
Cadangan minyak telah ditemukan di banyak batas kontinen di sekitar kawasan ini. Hingga saat ini, diperkiran bahwa kawasan ini mengandung cadangan minyak sebanyak 7 milyar barel dan kapasitas produksi mencapai 2,5 juta barel setiap harinya.
Jumlah itu sama dengan sepertiga cadangan gas dan minyak Tiongkok. Selain itu, menurut Direktur Internasional Security Program di Lowy Institute, Australia, untuk urusan Kebijakan Internasional, Rory Medcalf, LCS juga menjadi jalur penting perdagangan bagi hampir semua negara utama dunia. Negara-negara yang terlibat dalam konflik karena klaim sepihak adalah Brunei, Filipina, Malaysia, Taiwan, Vietnam dan Tiongkok
Meskipun saat ini tidak memiliki kepentingan kedaulatan atas Laut China Selatan. Indonesia tidak melakukan klaim sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa negara yang telah disebutkan sebelumnya. Indonesia hanya melakukan klaim ZEE yang mana sama sekali tidak melanggar hukum laut internasional. Indonesia juga berpotensi untuk tertarik ke dalam konflik regional karena adanya kemungkinan perluasan klaim Tiongkok dan Taiwan hingga mencakup ZEE Indonesia, yaitu area Natuna Barat yang kaya akan cadangan gas bumi.
Tantangan Indonesia
Di KTT ASEAN kali ini Indonesia akan membawa dan mengenalkan Poros Maritim Dunia, setelah pada minggu lalu diangkat oleh presiden Joko Widodo dalam forum APEC di Beijing.
Poros Maritim Dunia menjadi doktrin bagi Indonesia sebagai kekuatan di antara dua samudera, yaitu Hindia dan Pasifik. Doktrin itu juga menekankan realitas geografis, geostrategis, dan geoekonomi Indonesia yang masa depannya dinilai tergantung kepada dinamika antara kedua samudera tersebut
Begitu strategisnya wilayah Indonesia dalam tataran geopolitik dan geoekonomi seperti dalam kasus LCS ini dan ditengah rivalitas baik dalam perekonomian dan pertahanan antara Amerika dan Tiongkok. Indonesia tidak boleh terperangkap dan terpengaruh hal itu dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional seperti penjagaan seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan semangat natural balance of power, di mana semua negara harus bahu membahu bertanggung jawab menghindari konflik dan perang agar jangan sampai terjadi.
Indonesia jangan sampai menjadi beban dan ikut terlibat dalam konflik Laut China Selatan. Tapi secara bersama dengan ASEAN, menjadi kawan yang selalu mengajak perdamaian.
Karena sangat strategisnya kawasan ini, Indonesia dengan doktrin Poros Maritim yang diangkat oleh presiden Joko Widodo menjadi sangat penting dalam memainkan peran dan tantangan di kawasan ini. Ini juga menegaskan kepada dunia bahwa Indonesia tidak menginginkan akan adanya konflik tetapi harus punya sikap sangat tegas dalam kasus ini.
Ahmad Syaifuddin Zuhri
Mahasiswa Pascasarjana Program China Scholarship Council (CSC) Jurusan Hubungan Internasional, Nanchang University, Tiongkok dan Dewan Pembina Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok 2014-2015